TEMPO.CO, Jakarta - Presiden RI kelima Megawati Soekarnoputri, mengatakan bahwa dirinya merindukan perdebatan argumentatif para pemimpin bangsa, yang pernah ia saksikan di antara tokoh-tokoh pelopor Gerakan Non Blok.
"Perdebatan yang penuh martabat, saling menghormati, sekaligus rasional dan penuh belarasa," kata Megawati dalam peluncuran buku Pidato Politik 29 tokoh Bangsa Asia Afrika di Konferensi Asia Afrika 1955, di Gedung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, Selasa, 17 April 2018.
Para pelopor GNB adalah Soekarno yang saat itu menjabat sebagai Presiden RI pertama, Josip Broz Tito ketika menjabat Presiden Yugoslavia, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, dan Presiden Ghana Kwame Nkrumah.
Baca juga: Istana Batu Tulis, Megawati dan Pencalonan Jokowi
Megawati mengatakan, kesan membekas itu lah yang membuatnya ingin membagikan pengalamannya menyaksikan peristiwa sejarah pada abad ke-20. Saat itu, kata dia, ada tiga peristiwa penting dalam sejarah peradaban dunia.
Saat Megawati berusia 8 tahun ada Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955. Peritiwa kedua adalah pidato Bung Karno di Sidang Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada 1960, ketika ia berusia 13 tahun. "Gerakan Non Blok pertama yang diadakan di Beograd 1961, saya usianya baru 14 tahun tapi saya sudah dijadikan resmi delegasi termuda tentunya waktu itu," ujarnya.
Megawati mengaku tak bisa membayangkan kembali di abad ini ketika Bung Karno sebagai presiden pertama dan tuan rumah, mengumpulkan ratusan delegasi. KAA diikuti 200 delegasi dari 29 negara yang menghasilkan Dasa Sila Bandung. Menurut Megawati, hanya 10 tahun setelah KAA berlangsung, ada 41 negara yang memproklamirkan kemerdekaannya di Asia dan Afrika.
Megawati pun mengutip ucapan Bung Karno kala itu, yakni "Live and let live Asia Africa Unity and Diversity. Tidak ada tugas yang lebih penting daripada memelihara perdamaian. Tanpa perdamaian kemerdekaan kita jadi tidak bermakna. Perbaikan dan pembangunan negara kita kehilangan makna."
Megawati menceritakan, Bung Karno kemudian membawa nafas KAA di Sidang Umum PBB pada 1960, yang dihadiri 17 negara dari Asia dan Afrika yang baru merdeka. Pidato Bung Karno setebal 70 halaman, kata Ketua Umum PDI Perjuangan itu, merupakan yang terpanjang sepanjang sejarah di Sidang Umum PBB.
"Bung Karno memaparkan dengan gamblang pentingnya Pancasila untuk menjadi landasan kesepakatan kerja sama antarbangsa. Ia meyakini bahwa Pancasila mempunyai arti universal yang dapat digunakan secara internasional," ujarnya.
Bung Karno, kata Megawati, juga mendeklarasikan pentingnya pelucutan senjata dengan menetang penggunaan senjata nuklir, atom, dan hidrogen dalam konflik apa pun. Selain itu, Bung Karno juga mendesak agar Cina diterima dalam keanggotaan PBB, bahkan menyuarakan perjuangan nasib rakyat Kongo dan Aljazair.
Megawati menuturkan, Bung Karno atas nama delegasi Ghana, India, Republik Persatuan Arab, Yugoslavia, dan Indonesia menyampaikan resolusi berisi desakan kepada Presiden Amerika Serikat dan Ketua Dewan Menteri Uni Republik Sosialis Soviet agar memilih perundingan untuk memecahkan masalah.
Baca juga: Ini Tiga Tokoh Kingmaker Pencalonan Presiden Indonesia
"Bung Karno tidak menginginkan dunia dibelah dalam dua blok. Bung Karno menginginkan adanya suatu tata dunia baru, suatu semangat 'To Build the World Anew'. Dunia yang kokoh, kuat, dan sehat. Dunia tempat semua bangsa hidup dalam damai dan persaudaraan," katanya.
Pada peristiwa GNB pertama, Megawati mengatakan bahwa Bung Karno dan Nehru berhasil melakukan lobi diplomatik terhadap Amerika dan Rusia. Kedua negara itu akhirnya memutuskan tidak menggunakan senjata nuklir untuk konflik Perang Dingin. Pasalnya, Bung Karno menegaskan bahwa politik non-blok tersebut merupakan pembaktian secara aktif pada perjuangan yang luhur untuk kemerdekaan, perdamaian yang kekal, keadilan sosial, dan kebebasan untuk merdeka.