TEMPO.CO, Jakarta - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akan memvonis terdakwa kasus korupsi e-KTP Setya Novanto pada Selasa, 24 April 2018.
"Kami agendakan tanggal 24, hari Selasa," ujar Ketua Majelis Hakim Yanto dalam sidang pleidoi Setya Novanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jumat, 13 April 2018.
Sebelumnya dalam sidang tuntutan, jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta hakim menghukum Setya Novanto 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan penjara.
Jaksa menyatakan Setya terbukti bersalah dalam korupsi e-KTP. Jaksa menyatakan Setya Novanto telah mengintervensi proses penganggaran serta pengadaan barang dan jasa dalam proyek e-KTP tahun 2011-2013.
Baca juga: Kata Setya Novanto, Gamawan Fauzi Berperan Penting di Kasus E-KTP
Melalui intervensi itu, Jaksa menyatakan Setya Novanto telah memperkaya diri sendiri senilai US$ 7,4 juta. Setya juga dianggap terbukti menerima jam tangan merek Richard Mille seri RM 011 seharga 135 ribu dolar AS.
Selain hukuman badan, jaksa juga menuntut Setya membayar uang pengganti sesuai dengan uang yang ia terima sebesar US$ 7,4 juta dikurangi Rp 5 miliar, seperti yang sudah dikembalikannya.
Setya harus membayar uang itu kepada KPK paling lambat satu bulan setelah putusan inkrah. Selain itu, jaksa juga meminta hakim mencabut hak politik Setya selama lima tahun setelah menjalani masa hukuman.
Dalam sidang pembacaan pleidoinya, Setya Novanto membantah telah mengintervensi proses penganggaran dalam proyek e-KTP. Dia mengatakan orang yang mengusulkan perubahan mekanisme anggaran proyek e-KTP adalah mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi.
Setya menuturkan Gamawan mengusulkan perubahan sumber anggaran proyek e-KTP dari mekanisme Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (PHLN) menjadi murni dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menurut dia, usul tersebut diajukan Gamawan ke Kementerian Keuangan melalui Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). "Usulan dilakukan pemerintah melalui Mendagri pada akhir November 2009," kata dia.
Baca juga: Tutup Pleidoi, Setya Novanto Baca Puisi Di Kolong Meja
Setelah usulan itu diajukan, Setya Novanto mengatakan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong dan eks Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri, Irman melobi anggota DPR agar menyetujui perubahan itu. Lobi itu, kata dia, dilakukan antara Andi dan Irman terhadap mantan Ketua Komisi Pemerintahan DPR Burhanuddin Napitupulu.
Menurut Setya Novanto, dari sejumlah pertemuan mereka menyepakati pemberian fee kepada anggota DPR untuk memperlancar perubahan pembiayaan proyek.
"Kesepakatan itu dilakukan sebelum Andi Agustinus memperkenalkan saya dengan saudara Irman. Jadi dari proses perencanaan, perubahan anggaran hingga pemberian fee ke DPR dilakukan sebelum saya mengenal Irman," kata dia.