TEMPO.CO, Denpasar - Koordinator Barisan Muda Nahdlatul Ulama (BMNU), Maksum Zuber, meminta tokoh atau elite politik menghindari olok-olok dalam menyikapi beda pendapat. Perilaku seperti itu, kata Maksum, membuat seseorang dan citra bangsa menjadi tersungkur.
"Sangat mungkin orang lain yang mengambil keuntungan dari beda pendapat itu," kata Maksum dalam pernyataan sikap BMNU yang diterima Antara di Denpasar, Ahad, 8 April 2018. Padahal bangsa Indonesia santun, suka bergotong royong, pemaaf, pejuang yang gigih, pantang menyerah, serta tidak mudah mengeluh.
Baca: Jaringan Muda NU: Yenny Wahid Patut...
Ibarat pepatah yang menyatakan siapa yang menanam kebaikan akan menuai kebaikan, tapi siapa yang menabur kebencian akan menuai kebencian, mantan Sekjen PP IPNU itu meminta semua pihak introspeksi diri sendiri sebelum mengoreksi orang lain. "Kekurangan tertentu orang lain yang dijadikan olok-olok itu belum tentu lebih berat dari kekurangan yang ada pada dirimu.”
Menurut Maksum, ini peringatan Al-Quran. Karena itu, penting untuk tidak gemar berolok-olok. “Lakukan dialog, dan jangan setiap persoalan disikapi secara SARA." Apalagi para ulama juga sudah mengingatkan untuk tidak terjebak dalam gibah (bergunjing), fitnah, dan namimah. Namimah adalah perbuatan saling adu domba dengan berusaha menjelek-jelekkan yang lain sehingga berdampak saling membenci.
Ia mengatakan masalah beda pendapat dalam syariat atau khilafiyah bukan terjadi hari ini saja. Pada zaman empat mazhab (dalam masyarakat Islam), perbedaan pendapat sudah terjadi dengan sangat hangat, argumentatif, dan ilmiah, tapi tanpa menyalahkan, olok-olok, atau membodoh-bodohkan.
Baca juga: Polri Pengin NU dan Muhammadiyah Bantu Dinginkan...
"Khilafiyah itu sudah biasa, tapi karakter dalam menyikapinya pun tetap manusiawi, seperti Imam Syafii yang beda dengan gurunya, Imam Maliki.” Semuanya berlangsung tanpa sikap sok paling syariat dengan menghakimi, mengkafirkan, hingga saling me-neraka-kan.
Ia menyarankan masyarakat meneladani para pendahulu yang biasa berbeda pendapat secara ilmiah tapi tetap saling menghormati.
"Orang dulu suka baca kitab, baca Quran, baca buku, dan melihat semua persoalan secara tekstual dan kontekstual.” Saat ini, kata Maksum, orang hanya suka baca media sosial, tapi cenderung menyamakan kritik dengan hujatan, menyamakan kesalahan dengan caci maki.
Simak: NU dan Muhammadiyah Bertemu, Bahas Hoax...
Jika sikap yang bertentangan dengan karakter bangsa Indonesia itu dilakukan terus-menerus, semuanya justru akan membuat bangsa lain bertepuk tangan menanti "kegaduhan" bangsa ini. "BMNU tidak ingin hal itu terjadi, karena itu kami menyampaikan peringatan.”
Bangsa ini, kata Maksum, sangat rentan dengan isu yang bersifat suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Bila tidak berhati-hati, akan bertikai sendiri dan orang lain yang memperoleh manfaatnya.