TEMPO.CO, Jakarta - Presiden tetap bisa mengambil kebijakan meski tengah cuti kampanye dalam Pemilu Presiden (Pilpres) 2019. "Karena prinsipnya kan cuti presiden itu tidak bisa menyebabkan kekosongan kekuasaan," kata Komisioner Komisi Pemilihan Umum Wahyu Setiawan di Gedung DPR, Jakarta, Selasa, 3 April 2018.
Wahyu menjelaskan, pada saat kampanye, presiden mengemban dua peran, yaitu sebagai presiden dan calon presiden secara bersamaan. Karena itu, kata dia, tidak logis apabila cuti kampanye berakibat hilangnya kewenangan dalam pengambilan kebijakan. "Sekarang bisa dibayangkan kalau dia lagi kampanye, kemudian kita perlu menyatakan perang dengan negara lain bagaimana, atau menyatakan damai dengan negara lain gimana," katanya.
Baca: Effendi Gazali: Jokowi Akan Menang Jika Kelola Tiga Isu Pilpres
Cuti kampanye kepala negara sejatinya berbeda dengan kepala daerah. Seorang kepala daerah yang mencalonkan diri dalam Pilkada 2018 perlu menanggalkan jabatan dan kekuasaannya selama tahapan kampanye, sedangkan untuk presiden dan wakil presiden inkumben cukup cuti pada saat pelaksanaan kampanye saja. "Oleh karena itu jangan gunakan analogi pilkada dalam pilpres, sebab kalau gunakan analogi pilkada tidak akan nyambung," kata Wahyu.
Ia mengatakan perbedaan yang tampak saat presiden melakukan cuti adalah ihwal dia tidak boleh menggunakan fasilitas negara saat berkampanye, kecuali fasilitas dasar yang melekat pada kepala negara, misalnya pengamanan presiden dan wakil presiden. Namun, sampai saat ini, KPU belum merumuskan fasilitas apa saja yang boleh ataupun tidak boleh digunakan selama masa kampanye. KPU masih menunggu selesainya rancangan peraturan pemerintah, yang dibuat oleh Kementerian Dalam Negeri.
Menurut Wahyu, yang pasti pelaksanaan cuti presiden tidak perlu izin terlebih dahulu kepada KPU. Hal yang perlu dilakukan adalah menginformasikan kepada KPU ihwal jadwal cuti kampanyenya melalui Menteri Sekretaris Negara.
Baca: Kata Puan Soal Muhaimin Bisa Perkuat Suara Jokowi di Pilpres
"Jadi beda dengan menteri, gubernur, bupati, wali kota, yang izin cutinya jelas dari siapa, tapi kalau presiden konteksnya tidak izin," kata dia.
Selain itu, soal durasi cuti presiden, sifatnya fleksibel. "Tergantung presiden, tidak diatur kapan batasan maksimal. Kalau menteri atau gubernur kan diatur dalam satu pekan dia hanya boleh sekali, tapi kalau presiden tidak," kata dia.
Kementerian Dalam Negeri tengah menyusun peraturan pemerintah yang mengatur soal cuti pejabat yang bakal berlaga dalam pemilu mendatang. Salah satunya, aturan soal cuti presiden dan wakil presiden ketika bakal berkampanye dalam pemilu. "Jadi kami sedang susun PP yang merevisi PP nomor 18 tahun 2013, karena UU nya berubah kami revisi," kata Staf ahli bidang pemerintahan Kementerian Dalam Negeri Suhajar Diantoro dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi II DPR di Gedung DPR.
Suhajar mengatakan pihaknya segera mengharmonisasikan beleid itu bersama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Prinsipnya, kata dia, dalam menggodog aturan ini, mesti dijaga adalah tidak boleh ada kekosongan pimpinan negara.
Dalam pembahasan di DPR, beleid ini sempat mengundang tanya lantaran adanya perbedaan pendapat soal cuti presiden selama pilpres. Beberapa anggota komisi II beranggapan bahwa cuti itu artinya menanggalkan kekuasaannya dan sementara waktu mesti dilimpahkan ke pihak lain.