TEMPO.CO, Jakarta - Kapolri Jenderal Tito Karnavian memetakan sejumlah potensi konflik horizontal yang belakangan makin marak di era perkembangan demokrasi Indonesia. Ia mengaku mencemaskan soal perkembangan demokrasi dan mengentalnya sikap primordialisme agama.
“Yang dikhawatirkan soal perkembangan demokrasi sekarang pertama makin mengentalnya sikap primordialisme,” kata Tito di sela menghadiri peluncuran buku karya mantan Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki, di kampus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Sabtu 31 Maret 2018.
Menurut Tito, primordialisme kembali muncul dengan berbagai tanda. Misalnya persoalan kesukuan mengental lagi, latar belakang keturunan atau ras juga dipersoalkan lagi. “Dan yang paling sensitive isu primordialisme keagaaman,” ujarnya.
BACA: Kapolri Tito: Pengamanan Perbatasan Tak Bisa Hanya Satu Instansi
Namun, kata Tito, munculnya kembali isu primordialisme di era reformasi ini perlu dilihat sebagai dampak tak terpisahkan dari perkembangan demokrasi di Indonesia. Ketika sebagian rakyat pasca orde baru bebas menyuarakan pendapatnya dan adanya kebebasan berserikat dan berkumpul.
“Dari sudut pandang keamanan nasional, munculnya primordialisme ini dilihat sebagai potensi konflik,” ujarnya. Sebab, penyatuan keberagaman Indonesia bisa mencair kembali.
Sedangkan potensi konflik kedua dalam perkembangan demokrasi ini yang dipetakan pihaknya tak lain konflik kelompok masyarakat low class atau warga menengah bawah dengan masyarakat high class atau kelas atas.
“Konflik low class dan high class ini sudah mulai juga,” ujarnya.
Baca: Cerita Kapolri Tito Karnavian Tangani Pilkada Papua
Tito mencontohkan bagaimana orang kini mempermasalahkan konglomerasi, latar belakang konglomerasi, dan orang mempersoalkan dominasi bidang bisnis misalnya aset tanah yang dinilai dikuasai sekelompok orang.
Ketiga, Tito melihat potensi konflik yang tercipta akibat manipulasi demokrasi. Yang digawangi pemilik modal, kuasa, dan media.
Tito pun menuturkan, repotnya ketika ada potensi konflik di era demokrasi ini, masih lebih banyak masyarakat kurang terdidik dan sejahtera, sehingga gampang dipolitisiasi, diprovokasi untuk mengungkap ketidakpuasanya dalam berbagai bentuk yang kontra produktif.
“Ada beberapa kawan mengatakan (masyarakat yang mudah diprovokasi) ini bukan sumbu pendek lagi, tapi sudah tanpa sumbu, terima suatu informasi lalu langsung marah meledak-ledak,.” ujarnya.
Dalam kondisi demikian, ujar Kapolri Tito, pihaknya mendorong jajarannya mengantisipasi dan mengurangi resiko dampak negatif dari perkembangan demokrasi itu.
PRIBADI WICAKSONO