TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Senior Setara Institute Ismail Hasani berharap hasil rapat permusyawaratan hakim (RPH) Mahkamah Konstitusi hari ini, Kamis, 28 Maret 2018, bisa membawa harapan baru. Hal ini penting untuk menyelamatkan integritas lembaga MK yang selama ini dipimpin Arief Hidayat.
"Hasil RPH mengakhiri polemik tentang dapat tidaknya Arief Hidayat dipilih kembali menjadi ketua MK. Para hakim sepakat bahwa Arief tidak bisa lagi menjabat ketua MK karena telah menjabat dua periode," kata Ismail melalui pernyataan tertulisnya, Kamis, 28 Maret 2018.
Baca: Soal Arief Hidayat, Setara Institute Minta MK Jaga Integritas
Menurut dia, integritas kelembagaan MK selama masa kepemimpinan Arief mengalami pelemahan, baik karena perilakunya yang menyalahi standar etika hakim maupun terkait kualitas putusan hakim. Nantinya, kata dia, ketua baru yang akan dipilih pada pekan depan, haruslah sosok yang mumpuni di bidang ketatanegaraan, memiliki integritas tinggi, dan independensi kuat di atas rata-rata hakim konstitusi.
"Ketua MK baru juga haruslah sosok yang potensial membawa perubahan, bukan penikmat status quo dan enggan keluar dari zona nyaman," ujarnya.
Di tengah menguatnya konservatisme di tubuh MK, kata Ismail, lembaga tersebut perlu memiliki pemimpin baru sekaliber seperti Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD. Negara ini membutuhkan pimpinan yang mampu menebarkan spirit aktivisme pada hakim lain untuk mengeluarkan putusan-putusan yang berkualitas dan progresif. Penguatan kelembagaan MK sebagai justice office yang modern, akuntabel, dan terpercaya, juga harus menjadi agenda ketua baru.
Baca: Alasan Jokowi Tetap Lantik Arief Hidayat Jadi Hakim Konstitusi
Dalam jangka panjang, MK harus memberikan kesempatan bagi para pembentuk UU untuk melakukan penguatan MK melalui perubahan UU MK. Tujuannya untuk kembali menata sistem pengawasan, pembatasan absolutisme kewenangan MK, model rekrutmen, dan pembaruan manajemen perkara dan persidangan.
Selama ini, penguatan kelembagaan MK selalu dimentahkan oleh MK melalui proses uji materiil, sehingga MK sama sekali tidak mengalami pembaruan sistemik sejak kasus korupsi yang menjerat Akil Muchtar, Patrialis Akbar, dan kasus pelanggatan etik yang menyengat Arief Hidayat.
Meskipun hak memilih itu ada pada sembilan hakim konstitusi, kata dia, aspek-aspek di atas haruslah menjadi rujukan para hakim. Hakim yang akan dipilih tidak boleh terjebak pada faksionisme kelompok yang akan merugikan para pencari keadilan konstitusional dan memperlemah kelembagaan MK.
"Saya mengetuk hati para hakim untuk berhenti berpolitik dalam pemilihan ketua dan dalam pengambilan putusan-putusan perkara di MK. Karena MK bukanlah tempat berpolitik para politisi," kata Ismail.