TEMPO.CO, Jakarta - Imparsial menyatakan isu suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA) terus dipakai dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) 2018 dan pemilihan presiden (pilpres) 2019 karena terbukti efektif lebih murah ketimbang politik uang. "Tinggal menyebar hoax saja di media sosial, selesai," kata koordinator peneliti Imparsial, Ardi Manto Adiputra, di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, Ahad, 25 Maret 2018.
Imparsial menilai penggunaan isu SARA dalam pilkada DKI Jakarta menjadi contoh buruk pelaksanaan pilkada selanjutnya. "Kemarin, isu ini berhasil dalam pilkada DKI, jadi akan berlaku sama dalam pilkada 2018 dan selanjutnya."
Baca:
Isu SARA Dianggap Masih Jadi Primadona di Pilkada 2018
Kata Eep, Politik Uang Semakin Tak Laku di Pilkada 2018
Imparsial menyatakan model politik kebencian menggunakan isu SARA sudah mulai terjadi meski pilkada belum berlangsung. “Di DKI ini berhasil.” Ini membuka peluang lebih besar terulang di daerah lain.
Ardi mencontohkan isu itu digunakan dalam pilkada Jawa Barat. “Sudah ada yang memainkan isu anti-Syiah yang dikaitkan dengan salah satu kandidat gubernur.” Menurut dia, tindakan itu adalah adopsi dari politik kebencian di DKI.
Baca: Perludem: Isu SARA Masih Akan Efektif di Pilkada 2018
Ardi menuturkan aturan pelarangan penggunaan isu SARA dalam kampanye juga sulit diterapkan. Sebab, sulit membuktikan seorang kandidat menggunakan kampanye hitam ini secara hukum. Biasanya cara ini disebarkan pihak ketiga. “Dan biasanya penyelidikan berhenti di sana saja."