TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau Perludem, Mahardika, menilai anak muda masih dijadikan obyek politik dalam budaya politik di Indonesia.
"Anak muda masih dijadikan sebagai penonton politik. Sistem politik belum melibatkan anak muda sebagai pelaku politik," kata Mahardika dalam Ngobrol Publik di Jakarta Selatan pada Sabtu, 24 Maret 2018.
Baca: Pengamat: Tanpa Karakter, Generasi Milenial Jadi Politikus Busuk
Menurut Mahardika, hal tersebut disebabkan oleh elite politik hanya melibatkan anak muda dalam mendulang suara. Anak muda belum dilibatkan dalam politik, seperti dilibatkan saat menentukan kebijakan.
Selain itu, Mahardika mengatakan, citra buruk yang dibangun aktor politik membuat persepsi anak muda buruk serta menimbulkan apatisme dan ketidakpedulian untuk tidak terlibat dalam politik. "Aktor politik tidak memberikan contoh yang baik, sehingga citra yang muncul adalah citra yang buruk," ujarnya.
Baca: CSIS Bikin Riset Soal Hobi Anak Muda Jaman Now, Apa Hasilnya?
Mahardika pun menilai jalan anak muda untuk terlibat politik cukup berat, baik bergabung dengan parpol maupun mendirikan parpol. Menurut dia, jenjang karier partai politik tidak menjanjikan untuk anak muda. Partai politik, kata dia, masih cenderung memilih orang-orang dengan unsur kedekatan sehingga anak muda yang tidak punya apa-apa akan sulit meniti karier politiknya.
Sedangkan untuk mendirikan partai politik, kata Mahardika, anak muda harus berhadapan dengan syarat dan ketentuan yang berat, seperti syarat kepengurusan dan keberadaan kantor di seluruh wilayah. Sistem ini yang ia sebut membuat politik tidak ramah terhadap anak muda. "Butuh uang dan modal besar," ujarnya.
Meski begitu, Mahardika mengatakan masih ada anak muda yang melek dengan politik, yang bergabung dengan lembaga atau organisasi. Menurut dia, sistem politik harus diperbaiki agar lebih ramah dan menarik bagi anak muda. "Aktor politik juga harus membangun citra politik yang baik," katanya.