TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Migrant Ccare Wahyu Susilo mengatakan penegakan aturan yang longgar mengenai pengiriman buruh migran memicu kekerasan yang menimpa TKI.
"Akar masalah penyebab terjadinya banyak kekerasan yang menimpa butuh migran adalah longgarnya penegakan aturan mengenai pengiriman tenaga kerja," ujar Wahyu di Jakarta pada Kamis, 22 Maret 2018. Hal tersebut, menurut dia, menimbulkan kesewenang-wenangan dari para majikan.
Baca: Pemerintah Kesulitan Dampingi TKI yang Divonis Mati di Arab Saudi
Salah satu tindak kekerasan terhadap TKI yang belakangan menarik perhatian adalah kasus penganiayaan TKI Suyanti oleh majikannya. Penganiayaan terjadi sejak Desember 2016. Suyanti yang kala itu berusia 19 tahun dilaporkan disiksa menggunakan peralatan rumah tangga seperti pisau dapur, gagang pel, dan payung. Suyanti mengalami cedera serius pada mata, tangan dan kaki, pendaharan di kulit kepala serta patah tulang akibat penyiksaan itu.
Migrant Care mencatat sedikitnya ada 6,5 juta TKI bekerja di luar negeri. Terbanyak ada di Malaysia sekitar 2,5 juta orang dan Arab Saudi sekitar 1,5 juta orang. Wahyu pun menyebut kebanyakan TKI yang bekerja di Malaysia itu tidak berdokumen.
"Ada 1,2 juta TKI yang bekerja di Malaysia Timur tidak berdokumen, sedangkan di Malaysia Barat ada 650 ribu TKI yang tidak berdokumen," kata Wahyu.
Baca: Hanif Dhakiri Beberkan Upaya Pemerintah Bebaskan TKI Zaini Misrin
Ada dua pengertian buruh migran tanpa dokumen. Pertama, kata Wahyu, buruh migran yang berangkat dari Indonesia ternyata tidak memiliki dokumen yang lengkap seperti tidak adanya visa kerja meskipun ada paspor. Kedua, buruh migran sudah memiliki dokumen yang lengkap seperti visa dan paspor, namun dokumen buruh migran tersebut dipegang oleh majikan. "Kemudian mereka kabur dari majikan mereka karena adanya kekerasan," kata Wahyu. Status mereka pun jadi tak berdokumen.
Sebagian besar TKI tersebut, menurut Wahyu, bekerja di industri perkebunan yang menjadi tulang punggung perekonomian Malaysia dan sektor konstruksi. Permintaan tenaga kerja di bidang itu pun tinggi sehingga perekrut ingin memperoleh dengancepat. "Kalau mereka merekrut buruh migran melalui prosedur formal, biayanya terlalu tinggi karena adanya pajak sebesar RM 2.500 dan lain-lain," kata dia.
Sementara kalau mereka mempekerjakan tenaga kerja ilegal asing, mereka tidak perlu mengeluarkan banyak biaya. "Kalau di sektor konstruksi itu biasanya kontrak pendek," kata Wahyu.