TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman mengatakan sumbangan dana kampanye dari partai politik kepada calon peserta pemilu 2019 dibatasi untuk mencapai visi pemilu yang murah.
"Kami ingin pemilunya tidak mahal. Pemilu itu harus murah bagi siapa pun, baik bagi penyelenggara maupun peserta pemilu," ujar Arief di Hotel Royal Kuningan, Jakarta, Selasa, 20 Maret 2018.
Baca juga: Pilpres 2019, KPU Godok Aturan Maksimal Sumbangan Partai Rp 25 M
KPU berencana membatasi jumlah sumbangan dana kampanye dari partai politik ke calon peserta pemilu 2019. Rencana itu dituangkan dalam rancangan PKPU yang telah diuji publik, kemarin.
Dalam Rancangan PKPU itu, sumbangan dana kampanye dari partai politik (parpol) dan badan usaha non-pemerintah dibatasi maksimal Rp 25 miliar, sedangkan sumbangan dana kampanye dari perseorangan dibatasi maksimal Rp 2,5 miliar.
Pada pemilu periode sebelumnya, sumbangan parpol tidak diatur dalam PKPU. Adapun sumbangan dana kampanye yang diatur adalah dari perseorangan sebesar maksimal Rp 1 miliar dan sumbangan dari perusahaan atau badan usaha non-pemerintah maksimal Rp 5 miliar.
Menurut Arief, sebenarnya besar sumbangan itu bisa saja tak diatur dan dibiarkan bebas saja kepada masing-masing parpol. Namun, dengan begitu, kata dia, cita-cita pemilu yang murah nantinya menjadi tak terkontrol dan semaunya.
"Makanya parpol atau paslon dikasih batasan dana kampanye, mulai penerimaannya hingga pengeluarannya diatur," katanya.
Arief mengatakan sebenarnya sumbangan untuk kampanye itu tetap bisa disalurkan walaupun ada batasan-batasan itu, yakni melalui kanal selain parpol, yaitu perseorangan dan perusahaan. "Jadi misalnya seseorang menyumbang Rp 2,5 miliar sebagai perseorangan, terus partainya Rp 25 miliar, lalu lewat perusahaannya juga. Kan ada tiga pintu itu."
Belum lagi apabila sumbangan pribadi untuk dana kampanye itu disampaikan melalui beberapa nama. "Itu juga bisa saja, karena punya identitas, nama, dan alamat sendiri," tutur Arief. "Asal sumbernya jelas dan klasifikasinya sebagai apa."