TEMPO.CO, Jakarta - Sosiolog Universitas Gajah Mada Arie Sujito mengatakan hoax dan ujaran kebencian yang mengkomodifikasi etnis dan agama kian masif menjelang momentum pemilihan kepala daerah (pilkada) 2018 dan pemilihan presiden 2019. Arie berpendapat, hoaks bisa berbahaya bagi demokrasi dan kebangsaan Indonesia jika tak dihentikan. Dia pun mendorong kepolisian terus membongkar pelaku, pemberi dana, dan aktor intelektual hoaks.
"Kita mendorong dan percaya pihak kepolisian bisa membongkar pelaku, pendana, bahkan aktor intelektual hoaks," Arie dalam diskusi "Mengungkap Aktor-aktor Politik Hoax di Tahun Politik" yang digelar Digital Culture Syndicate di Jakarta, berdasarkan keterangan tertulis yang diterima Tempo pada Rabu, 14 Maret 2018.
Simak: Polri Diminta Usut Aktor Politik Penyebar Hoax
Arie menilai hoax dan ujaran kebencian terbukti telah menyebabkan konflik antarkelompok dan krisis kepercayaan yang mengancam kualitas demokrasi Indonesia masa depan. Dia berujar, krisis kepercayaan yang meluas menciptakan keresahan publik sehingga masyarakat kian susah membedakan informasi benar dan salah.
"Dari sanalah kemarahan dan konflik sosial bisa mengemuka karena hoaks," kata Arie.
Direktur Nahdlatul Ulama (NU) Online Muhammad Syafi' Alielha (Savic Ali) menyebut hoax lebih merupakan konsekuensi pertempuran politik ketimbang politik identitas. Savic berpendapat nyaris semua momentum penting politik di Indonesia terpapar hoax Pilkada dan pilpres mendatang, kata dia, akan menjadi momen besar yang berpotensi menyuburkan hoax.
"Perebutan kekuasaan dan hasrat saling menyingkirkan dalam sebuah pertempuran zero-sum-game yang membuat hoax marak di Indonesia saat ini," kata Savic.