TEMPO.CO, Jakarta - Direktorat Siber Badan Reserse Kriminal Mabes Polri menangkap seorang pria berinisial KB, penyebar isu sara dan berita bohong atau hoax. Tersangka yang merupakan lulusan teknik informasi ini telah membajak 1.000 akun Facebook untuk menyebarkan berita bohong.
"Tersangka menyebarkan berita bohong dan ujaran kebencian dengan meng-hack akun FB orang lain," kata Kepala Subdirektorat I Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Komisaris Besar Irwan Anwar di kantornya pada Kamis, 8 Maret 2018.
Baca: Kemenkominfo Serahkan Jejak Digital The Family MCA ke Polisi
Irwan mengatakan tersangka terbukti menyebarkan berita bohong antara lain dengan konten suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI), dan isu penyerangan ulama. Selain itu, kata dia, tersangka menyebarkan berita yang mencemarkan nama baik sejumlah tokoh nasional, seperti Ketua Majelis Ulama Indonesia Ma’ruf Amin, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Sukarnoputri, dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, menurut Irwan, tersangka tidak terhubung dengan kelompok penyebar hoax, seperti Saracen atau Muslim Cyber Army. "Tidak ada indikasi terhubung dengan satu kelompok," ujar Irwan.
Menurut Irwan, meski tersangka juga menyerang sejumlah tokoh nasional, tidak ditemui motif politik. "Belum ada indikasi kalau ada yang mengorder posting-an tersangka," ucapnya.
Baca: Jadi Konseptor The Family MCA, Perempuan Ini Diburu Polisi
Dalam menjalankan aksinya, kata Irwan, pelaku tidak menentukan akun yang akan dibajaknya. Tersangka memilih secara acak untuk mengganti kata sandi akun yang dia bajak.
Namun Irwan enggan menjelaskan cara dan sistem yang digunakan pelaku dalam membajak akun orang lain. "Pemeriksaan lab sementara, ada 50 akun yang sudah dia ganti kata sandinya, sedangkan yang di-hack ada 1.000 lebih," tuturnya.
Irwan mengatakan motif pelaku menyebarkan hoax karena ekonomi. Dari unggahannya, pelaku mampu mendapatkan keuntungan dari Google AdSense. Selain itu, kata dia, pelaku merasa didiskreditkan pemeluk agama mayoritas. "Pelaku merasa sakit hati sebagai kelompok minoritas," katanya.