TEMPO.CO, Jakarta - Narapidana terorisme Abu Bakar Baasyir menolak pemindahannya ke lembaga pemasyarakatan di sekitar Klaten, yang dekat dengan kampung halamannya. Bahkan Baasyir juga menolak pemberian grasi dari pemerintah karena menganggap dia tidak bersalah.
Pengacara Baasyir, Guntur Fattahillah, mengatakan Baasyir hanya mau jika pemerintah memberikan keringanan hukuman, seperti abolisi, agar dia bisa dekat dengan keluarga, tanpa berada di dalam penjara. "Mengenai abolisi, Ustad Abu hanya menyampaikan, saya serahkan kepada pemerintah, karena itu merupakan kewenangan pemerintah," ucap Guntur lewat pernyataan tertulis pada Kamis, 8 Maret 2018.
Baca: Abu Bakar Baasyir Kembali Diperiksa Kesehatannya di RSCM Hari Ini
Abolisi merupakan penghapusan terhadap seluruh tuntutan pidana akibat penjatuhan putusan pengadilan kepada seorang terpidana atau terdakwa yang bersalah.
Pemerintah merencanakan pemindahan Baasyir ke rumah tahanan di sekitar Klaten. Pemerintah beralasan, pemindahan dilakukan agar keluarga Baasyir bisa lebih mudah membesuk dan berkomunikasi dengannya. Saat ini, Baasyir menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sindur, Bogor.
Baca: Pengacara Ingin Abu Bakar Baasyir Diperlakukan Seperti Ahok
Menurut Guntur, wacana keringanan hukuman awalnya justru datang dari pemerintah. Bahkan usul Baasyir menjadi tahanan rumah pertama kali muncul dari Presiden Joko Widodo. "Bapak Presiden mempunyai pandangan dan sikap lain, yakni mengubah status penahanan Ustad Abu Bakar Baasyir menjadi tahanan rumah dengan alasan kemanusiaan dan agar keluarga lebih mudah untuk merawatnya," ujarnya.
Namun sikap Presiden, menurut Guntur, mendapat tanggapan yang berbeda dari para pembantunya. Ia pun kembali menegaskan bahwa kliennya tidak ingin dipindahkan. "Penolakan wacana pemindahannya ke lapas lain telah disampaikan secara tertulis melalui kepala lembaga pemasyarakatan tempat Ustad Abu Bakar Baasyir menjalani pemasyarakatannya saat ini," ucapnya.