TEMPO.CO, Padang - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Suhardi Alius mengatakan penyebaran radikalisme marak dilakukan melalui media sosial. Ia pun meminta masyarakat lebih berhati-hati dalam menerima informasi dari media sosial yang bisa jadi berupa hoax.
"Kita imbau masyarakat, apabila menerima informasi, harus memilah-milah betul, karena media sosial saat ini dijadikan alat penyebar paham radikal," ucap Suhardi seusai acara Bedah Buku Ahmad Syafii Maarif di Padang pada Kamis, 1 Maret 2018.
Baca: Sebar Hoax, Komandan Grup The Family MCA Menyesal dan Minta Maaf
Ia mengatakan dunia digital yang maju begitu pesat membuat informasi bertebaran dengan luas. Suhardi berharap masyarakat tidak gegabah dalam menyebarkan informasi yang diterima. "Budaya sharing tanpa saring ini harus dihilangkan karena mulai meresahkan. Saat ini penegakan hukum juga telah dilakukan karena perbuatan ini meresahkan," ujarnya.
Suhardi menilai konten-konten yang ada di media sosial memang memprovokasi masyarakat. Ia menyebutkan menyebarkan hoax merupakan provokasi terhadap masyarakat dan masuk dalam kategori tindakan radikal.
"Apalagi memprovokasi orang yang pengetahuannya setengah-setengah, maka mereka menganggap provokasi itu merupakan sebuah kebenaran," ujar Suhardi.
Baca: Penyebar Hoax Orang Gila Masuk Pesantren Anggota The Family MCA
Karena itu, BNPT mengapresiasi pihak kepolisian yang telah menangkap tersangka penyebar hoax di media sosial yang juga menyebar benih-benih radikalisme. "Kita dukung pihak kepolisian melakukan penegakan hukum terkait dengan persoalan tersebut," tuturnya.
Kepolisian telah menangkap dan menetapkan lima tersangka atas dugaan kasus penyebaran hoax dan provokasi melalui media sosial dari kelompok The Family Muslim Cyber Army (MCA). Kelima tersangka ditangkap di daerah berbeda, yakni di Tanjung Priok (Jakarta Utara), Pangkal Pinang, Bali, Sumedang, dan Palu. Berdasarkan barang bukti yang diperoleh polisi, kelompok MCA menyebarkan isu provokatif dan kabar bohong terkait dengan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) melalui jaringan komunikasi WhatsApp.