TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Basaria Panjaitan mengatakan penyidik berhasil mengungkap kode yang digunakan dalam kasus suap Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra. Kode itu adalah koli kalender.
Kode tersebut digunakan Adriatma kepada Direktur Utama PT Sarana Bangun Nusantara (SBN) Hasmun Hamzah yang memiliki arti uang satu miliar. "Kode digunakan Adriatma untuk meminta uang kepada Hasmun," ujar Basaria di KPK, Kamis, 1 Maret 2018.
Baca: Penangkapan Wali Kota Kendari Tak Pengaruhi Roda Pemerintahan
Dengan kode tersebut, diduga Adriatma telah menerima suap dari Hasmun sebanyak Rp 2,6 miliar. Uang tersebut dibagi dalam beberapa tahap, yakni Rp 1,5 miliar diberikan dalam rentang 2012-2018 dan Rp 1,3 miliar diberikan pada Senin, 26 Februari 2018.
Adriatma terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK di Jalan Syekh Yusuf, Kecamatan Mandonga, Kota Kendari, Selasa dini hari, 27 Februari 2018. Ia diciduk bersama calon Gubernur Sulawesi Tenggara Asrun yang tidak lain merupakan ayahnya sendiri.
Simak: Cagub Sultra Kena OTT, PDIP: Kita Telan Dulu Kenyataan Pahit Ini
Dari hasil penyelidikan, terungkap uang sebesar Rp 1,5 miliar dari PT SBN kepada Adriatma akan digunakan untuk biaya kampanye Asrun. Setelah ditelisik, PT SBN juga diketahui merupakan rekanan kontraktor jalan dan bangunan di Kota Kendari sejak 2012 atau saat Asrun masih menjabat sebagai wali kota dua periode, yakni 2007-2017.
Selama menjadi mitra proyek, KPK mengungkap ada aliran dana sebesar Rp 1,3 miliar yang diberikan PT SBN kepada Asrun sebagai pelicin dari proyek-proyek yang mereka tangani. Salah satunya adalah proyek jalan Bungkutoko Kendari New Port senilai Rp 60 miliar.
Lihat: Kena OTT KPK, Wali Kota Kendari Baru Menjabat 140 Hari
Adriatma ditahan bersama Asrun, bekas Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Fatmawati Faqih dan Dirut PT SBN Hasmun Hamzah. Hasmun disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkan untuk Adriatma, Asrun, dan Fatmawati dijerat Pasal 1 atau Pasal 11 huruf a atau uruf b undang-undang yang sama. Mereka diancam hukuman penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun.