TEMPO.CO, Jakarta - Rancangan revisi Undang-Undang Terorisme yang tengah dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat menuai sejumlah kritikan dari koalisi masyarakat. Koordinator Program Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani mengatakan revisi Undang-Undang Terorisme tersebut berpotensi disalahgunakan dan menyasar pihak-pihak yang tak terbukti melakukan tindak pidana terorisme.
"Karena dalam revisi Undang-Undang Terorisme keterlibatan dinilai dari relasi," katanya pada Selasa, 27 Februari 2018.
Baca: Pelaku dan Korban Terorisme Bertemu, Wiranto: Simbol Perdamaian
Julius menyoroti Pasal 26 dalam undang-undang tersebut yang masih berpotensi disalahgunakan. Ayat 3 dalam pasal tersebut menyatakan proses pemeriksaan untuk mendapatkan bukti permulaan cukup dilakukan secara tertutup dalam kurun waktu maksimal tiga hari.
Sedangkan Pasal 28 menyatakan penyidik dapat menangkap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup. "Jadi yang dikedepankan adalah dugaan-dugaan, bukan dua alat bukti yang cukup," ujar Julius.
Peneliti Bidang Terorisme The Habibie Center, Vidya Hutagalung, juga menilai revisi undang-undang terorisme belum komprehensif. Misalnya, kata dia, belum ada aturan perlindungan terhadap keluarga terduga terorisme. Padahal dia menilai keluarga terduga pelaku terorisme kerap tidak terlibat sama sekali, bahkan ada yang sama sekali tidak tahu.
Baca: 120 Eks Milisi Indonesia akan Minta Maaf pada Korban Terorisme
"Tapi bisa berdampak (mereka) dikucilkan (masyarakat)," ucap Vidya. Bila hal itu dibiarkan, mereka akan rentan dipengaruhi dan diajak bergabung oleh kelompok teroris.
Anggota Panitia Khusus RUU Terorisme dari Fraksi Partai Golkar, Bobby Adhityo Rizaldi, mengatakan revisi undang-undang tersebut memang tidak mengatur perlindungan terhadap keluarga terduga terorisme. Menurut dia, keluarga terduga terorisme tak perlu khawatir apabila tidak terlibat.
Ia yakin tindakan pencegahan dengan penahanan terduga teroris akan dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan tak melanggar hak asasi manusia. Menurut Bobby, aparat penegak hukum yang berwenang menahan juga sudah diatur apabila pada kemudian hari ditemukan pelanggaran oleh dewan pengawas penanggulangan teroris. "Ada sanksi hukumannya," tuturnya.
Anggota Pansus RUU Terorisme dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, memastikan pembahasan revisi akan dilakukan komprehensif setelah masa reses di Dewan. "Akhir masa sidang yang akan datang diharapkan selesai (pembahasannya)," ujarnya.