TEMPO.CO-Yogyakarta - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR Bambang Soesatyo menyebut model demokrasi dengan pemilihan langsung menjadi salah satu penyebab maraknya praktik korupsi oleh kepala daerah atau calon kepala daerah.
“Kalau sekarang hampir tiap hari kita dengar ada OTT (operasi tangkap tangan) kepala atau calon kepala daerah, itu bukan hal yang aneh,” ujar Bambang di sela peresmian Gedung Grha Suara Muhammadyah di Yogyakarta, Ahad, 25 Februari 2018.
Baca: OTT Kepala Daerah, Zulkifli Hasan: Ini Peringatan Keras
Menurut Bambang maraknya OTT kepala daerah merupakan harga yang harus ditebus akibat pilihan sistem demokrasi langsung. Bambang merinci perkiraan ongkos politik yang dibutuhkan untuk maju ke pilkada.
Calon wali kota/bupati, kata Bambang, minimal harus mempersiapkan dana Rp 100-150 miliar. Sedangkan untuk pemilihan gubernur ongkosnya berkisar Rp 200-500 miliar. Adapun calon presiden, menurut Bambang, minimal punya modal Rp 1 triliun. “Ini mendorong para calon berkompromi pada para pemilik modal,” ujarnya.
Padahal, ujar Bambang, pusat modal atau perekonomian Indonesia hanya dikuasai oleh segelintir orang. “Bisa dibayangkan, jika kondisi terus demikian Indonesia ke depan akan dikuasai orang-orang itu (pemilik modal), baik secara langsung maupun tidak,” ujarnya.
Simak: Fahri Sindir OTT Kepala Daerah, KPK: Tak Penting Ditanggapi
Bambang mengajak pemerintah dan organisasi masyarakat seperti Muhammadyah untuk mengevaluasi lagi manfaat pemilihan langsung itu. “Tapi jika kita amandemen lagi UU Pemilihan Kepala Daerah ini (kembali bukan pemilihan langsung) katanya kemunduran demokrasi,” ujarnya.
Bambang mengaku pernah menyampaikan keinginan meninjau kembali pemilihan langsung itu kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sehingga bisa kembali dilakukan DPR/DPRD. “Dengan anggota DPRD yang hanya 60 orang, tentu lebih mudah pengawasannya jika semua disadap,” ujarnya.
Lihat: Fahri Sindir OTT KPK Titipan, Saut Situmorang: Titipan Reformasi
Namun, kata Bambang, masyarakat justru senang karena pilkada langsung ini identik dengan bagi-bagi uang. “Kalau calonnya tidak punya uang, akan dimodali pemilik modal asal dengan catatan di bawah kendali pemilik modal,” ujarnya.
Bambang Soesatyo yakin tabiat pemilik modal tak mau selamanya memasang pion atau membiayai calon yang didukungnya. Suatu saat para pemilik modal pasti mencalonkan dirinya sendiri karena merasa memiliki modal besar. “Kalau begini terus kekayaan tanah kita lama-lama beralih ke pemilik modal, dan rakyat tinggal di pinggiran, ” ujarnya.
PRIBADI WICAKSONO