TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM meminta Kejaksaan Agung segera menindaklanjuti laporan penyelidikan tentang 9 kasus HAM masa lalu yang telah diserahkan. Wakil Ketua Komnas HAM Bidang Eksternal Sandrayati Moniaga juga meminta pemerintah turun tangan tentang lambannya penanganan kasus-kasus tersebut.
"Putusan politik seharusnya dari pemerintah, karena Kejakasaan Agung yang harusnya bergerak," kata Sandrayati di kantor Amnesty International, Jakarta Pusat pada Kamis, 22 Februari 2018.
Baca: Komnas HAM Masih Kumpulkan Data 162 Kuburan Korban 1965
Adapun 9 kasus pelanggaran HAM masa lalu yang telah diserahkan Komnas HAM kepada Kejaksaan Agung meliputi peristiwa 1965–1966; penembakan misterius 1982–1985; peristiwa Talangsari 1989; dan penghilangan orang secara paksa 1997–1998.
Selanjutnya, peristiwa kerusuhan Mei 1998; peristiwa Trisakti-Semanggi I dan II; peristiwa Wasior-Wamena 2003; peristiwa Jambu Keupok di Aceh 2003; dan peristiwa Simpang KKA di Aceh 1999.
Dalam penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, Sandra mengatakan wewenang Komnas HAM hanya sebatas penyelidikan. Jika ingin dilibatkan lebih jauh, hal tersebut bisa dilakukan dengan pembentukan tim bersama dengan Kejaksaan Agung. "Kecuali membentuk tim bersama untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas," kata dia.
Baca: Tiga Permasalahan Hak Asasi ini Jadi Prioritas Komnas HAM di 2018
Sandra mengaku sadar bahwa semakin lambannya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berpotensi akan berkurangnya bukti dan saksi. Namun, dia mengaku lembaganya tak punya wewenang lebih dari sekedar penyelidikan.
"Kami gak punya kewenangan panggil paksa, menggeledah, kami hanya bisa memnaggil kalau gak datang ya sudah, kami minta dokumen, kalau gak dikasih ya sudah," kata Sandra.
Ia mengatakan jika Kejaksaan Agung menghadapi masalah berupa laporan Komnas HAM yang tidak bisa ditindaklanjuti, dia mempersilahkan Kejaksaan Agung untuk menyampaikan kepada publik. "Selama ini kan mereka terus-terusan kirim surat, balikin ke Komnas kurang lengkaplah," ujarnya.
Sebelumnya, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo memberi saran terhadap penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Menurut dia, penyelesaian yang paling tepat adalah dengan cara non yudisial seperti rekonsiliasi. "Kami anggap paling tepat karena ada pengertian diantara semua pihak," kata Prasetyo di kantornya, Jalan Sultan Hasanudin No.1, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa, 9 Januari 2018.
Prasetyo beralasan cara yudisial akan sulit diwujudkan karena kasusnya telah terjadi bepuluh tahun silam. Kesulitannya terkait pengumpulan bukti yang akan di bawa ke pengadilan.