TEMPO.CO, Jakarta - - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyebut praktek politik kebencian marak digelar dalam dipakai dalam Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada DKI Jakarta 2017. Menurut Hamid, politik Kebencian yang dipakai aktor negara dan non negara untuk memecah belah masyarakat itu berdampak panjang. Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, menjadi salah satu korbannya.
"Politik pembelahan ini membawa dampak sosial dan politik berkepanjangan," kata Usman saat konferensi pers di kantornya, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 22 Februari 2018.
Menurut Usman, vonis yang diterima oleh Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, mantan Gubernur DKI Jakarta adalah produk politik kebencian yang akan tercatat dalam sejarah HAM Indonesia. Usman mengatakan, lawan politik Ahok menggunakan sentimen anti-Islam untuk memenjarakan Ahok.
BACA: Amnesty Internasional Sebut 2017 Adalah Tahun Politik Kebencian
Ahli Hukum Sebut PK Ahok Telah Memenuhi Syarat Formal
"Pimpinan kelompok seperti FPI, Rizieq Shihab menggunakan retorika kebencian untuk menggerakkan massa agar mendorong polisi memproses hukum Ahok atas tuduhan menista agama," kata Usman.
Simak: Vonis Ahok Soal Penistaan Agama, Berat Hukuman daripada TuntutanRuhut Sitompul: Kasus Buni Yani Bisa Menjadi Referensi PK Ahok
Menurut Usman, narasi kebencian terhadap Ahok tak lain didasari statusnya yang merupakan kelompok minoritas agama dan etnis. Tak cuma Ahok, diskriminasi terhadap kelompok minoritas di Indonesia juga menimpa pihak lain.
Selama 2017, Amnesty Internasional mencatat sebanyak 11 orang dihukum menggunakan pasal penodaan agama yang menyasar individu dari agama maupun keyakinan minoritas. Beberapa contohnya yaitu Ahmad Mushaddeq, Mahful Muis, Tumanurung dan Andry Cahya dari Gerakan Fajar Nusantara atau Gafatar.