TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Arsul Sani menyebutkan perluasan pasal 73 Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) ihwal pemanggilan paksa oleh pihak yang akan diperiksa DPR datang dari pemerintah. Menurut politikus PPP ini, perubahan itu berbeda dengan keinginan Dewan membatasi pihak yang bisa dipanggil paksa oleh DPR.
"Seingat saya dari tim pemerintah ingin agar undang-undang mengatur lebih luas, kata 'setiap pejabat' itu diganti 'setiap orang'. Maksud hati DPR mau melimitasi itu," kata Arsul dalam diskusi "Benarkah DPR Gak Mau Dikritik?" di Warung Daun, Cikini, Jakarta pada Sabtu, 17 Februari 2018.
Baca: Penolakan UU MD3, Dari Petisi hingga Gugatan ke MK
Arsul mengatakan rumusan awal pasal 73 UU MD3 yang diusulkan DPR menggunakan frasa "setiap pejabat". Menurut politikus Partai Persatuan Pembangunan ini, frasa itu membatasi DPR ihwal pemanggilan pejabat di pemerintahan. "Maksud DPR memanggil paksa itu berlaku untuk pejabat pemerintah," kata dia.
Pemerintah dan DPR akhirnya mengesahkan UU MD3. Di dalamnya, terdapat sejumlah peraturan baru yang berkaitan dengan operasional Polri. Seperti Pasal 245 yang mengatur imunitas anggota Dewan yang diperiksa oleh polisi harus melalui izin Majelis Kehormatan Dewan dan Presiden. Ada pula pasal 73 tentang penjemputan paksa oleh polisi kepada orang yang akan diperiksa oleh DPR.
Baca: Zulkifli Hasan: UU MD3 Bisa Diprotes, Rakyat Bosnya
Pasal 73 menuai polemik. Sebab, pasal ini membuka ruang anggota DPR menggunakan aparat kepolisian memanggil pihak tertentu dalam menjalankan fungsi pengawasan. Pasal ini menuai polemik karena kewenangan pemanggilan paksa hanya dimiliki penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri Komisaris Besar Martinus Sitompul mengatakan Polri belum bersikap soal pengesahan UU MD3. "Polri akan kaji terlebih dahulu," kata dia.