TEMPO.CO, JAYAPURA -Letnan Jenderal TNI purnawiran Kiki Syahnakri mengingatkan hegemoni asing terhadap Indonesia saat ini dilakukan lewat model Perang Generasi IV dengan senjata utamanya adalah soft power. Dalam sebuah seminar di Jayapura Papua, Kiki menegaskan kalau perang ini diarahkan untuk membuat negara sasaran mengalami kehancuran dari dalam diri sendiri.
"Bentuknya antara lain cultural warfare, economic and financial warfare, information warfare dan sebagainya," kata Kiki sebagai pembicara dalam Seminar Nasional bertema Peran Umat Katolik dalam Pembangunan Politik di Tanah Papua yang diadakan Komisi Kerasulan Awam Keuskupan Regio Papua 2018 di Auditorium Universits Cenderawasih, Papua, Jumat, 16 Februari 2018.
Kiki lebih rinci menjelaskan bentuk Perang Generasi IV itu yakni kekuatan senjata digantikan oleh informasi untuk membangun persepsi dan kekuatan modal atau finansial untuk penguasaan ekonomi. Perusahaan multi-nasional atau MNC dan LSM adalah tentara baru bagi negara-negara bagi hegemonis.
"Kini tujuan perang telah bergeser dari penguasaan teritori menjadi penguasaan sumber daya atau dengan kata lain bertujuan ekonomi," kata mantan Pangdam IX/Udayana tahun 1999-2000.
Di hadapan para peserta seminar yang dihadiri para uskup di regio Papua serta sekitar 200 umat Katolik, Kiki melanjutkan tentang metode perang yang disebutnya Perang Generasi IV itu yakni, pertama, pembusukan politik dengan menumbuhkan atau memelihara moral busuk para politisi, kemudian menyuguhkan dan memaksakan sistem demokrasi liberal yang berciri persaingan bebas, sehingga efek yang muncul adalah instabilitas, konflik, da anarkisme.
Kedua, ujar Kiki, pembajakan negara yaitu upaya dengan segala cara untuk mengubah peraturan perundangan sampai ke konstitusi sedemikian rupa sehingga dapat memberi jalan, bahkan karpet merah bagi kepentingan yang diusungnya.
Menurut Kiki, metode seperti ini biasanya dilakukan dengan pentahapan yang diawali dengan war of perception untuk mengubah cara pandang bangsa yang menjadi sasarannya, terutama para elit bangsa ersebut.
Proses ini acapkali dilakukan dengan menggunakan kepanjangan tangan atau war by proxy yang terdiri dari LSM atau para elit politik yang berhasil dipengaruhinya.
Tahap berikutnya, kata mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat ini, adalah peperangan legal untuk mengubah sistem politik lewat perubahan peraturan atau perundang undangan bahkan konstitusi serta nilai-nilai yang dianut negara sasaran.Tujuannya untuk memberi kemudahan dalam ekploitasi ekonomi dan politik.
Tahap selanjutnya, terjadilah serbuan budaya untuk mengubah nilai-nilai budaya lokal serta serbuan modal yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional atau MNC dalam rangka penguasaan ekonomi.
"Dengan model perang seperti ini, suatu negara akan takluk, dikuasai atau mengalami keruntuhan tanpa letusan satu butir peluru pun. Keruntuhan Uni Sovyet adalah contoh dari pelaksanaan perang generasi 4," kata Kiki.
Penggunaan kekuatan militer untuk menguasai sumber daya alam seperti zaman kolonialisme-imperialisme yang sudah usang, tidak efektif dan secara politik-diplomatik terlalu berisiko, hanya digunakan sebagai alternatif terakhir manakala penggunaan soft power menemui jalan buntu seperti saat ini terjadi antara lain di Irak, Afganistan, Libya, dan Suriah.
Perpolitikan global saat ini, menurut Kiki, diwarnai oleh kemunculan politik identitas sebagai jawaban terhadap globalisasi dengan kemajuan teknologi terutama teknologi informasi yang telah menghilangkan sekat identitas kelompok, baik berdasarkan ras, etnis, agama, budaya, atau ciri primordial lainnya.
Keinginan kelompok-kelompok tersebut untuk tetap eksis secara politik, ekonomi maupun budaya pada gilirannya telah memunculkan politik identitas.
Kemunculan politik identitas di Indonesia pada kenyataannya telah didominasi oleh warna agama seperti tercermin dalam pilkada DKI Jakarta lalu.
"Manakala agama yang sakral dimasukkan dalam ranah politik yang cenderung kotor, fitnah, menghalalkan segala cara, maka akan melahirkan iklim konflik dalam kehidupan beragama," ujar Kiki.
Bila suasana konflik tersebut terjadi antar agama, niscaya akan ditanggapi oleh umat atau pengikutnya masing-masing dengan sangat emosional. Dengan demikian perkembangan politik identitas in sangat tidak sehat, rawan, berbahaya dan menjadi ancaman bagi Pancasila, keutuhan bangsa dan kelangsuan negara," ujar Kiki.
BACA: Kiki Syahnakri Bicara Peran Pensiunan TNI di Balik Kasus YLBHI
Kedua, kemunculan gerakan populisme. Populisme dalam pengertian sederhana adalah gerakan massa-rakyat yang tidak berdasarkan pada kelas, melawan segelintir elit penguasa mapan dan korup, tidak demokratis serta hanya mementingkan diri sendiri,
Populisme, ujar Kiki, bukan sebuah ideologi tapi sebuah logika politik yang mempunyai variant, namun persamaannya semua memiliki kecurigaan terhadap elit, semua memusuhi elti, membenci mainstream politics atau arus utama dalam politik, dan institusi yang mapan.
Gerakan populisme ini menjadi berbahaya terutama bagi Indonesia karena dalam upaya memenangkan tujuan politiknya seringkali dilakukan dengan menghalalkan segala cara seperti menyebarkan berita hoax dan fitnah.
"Dalam kasus Pilkada DKI Jakarta yang lalu, nampak jelas adanya sinergi antara politik identitas dengan gerakan populisme," kata Kiki.
Kepada para uskup yang menghadiri diskusi ini di Papua, Kiki menegaskan, populisme ini sangat sulit dicegah apalagi dilarang. Untuk membatasnya atau dikanalisasi, maka diperlukan regulasi yang ketat. Dalam jangka panjang, pembangunan karakter dengan penyemaian nilai-nilai luhuru bangsa khususnya Pancasila akan menjadi filter yang ampuh bagi pencegahan bahaya atau ancaman oleh politik identitas dan gerakan populisme.