TEMPO.CO, Jakarta - Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada akan menggugat Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) ke Mahkamah Konstitusi. "Tapi tunggu ada nomor (undang-undangnya) dulu. Karena memang belum ada nomornya kan," kata peneliti Pukat UGM, Hifdzil Alim, saat dihubungi Tempo, Selasa, 13 Februari 2018.
Hifdil mengungkapkan sejumlah pasal dalam UU MD3 itu krusial dan berpotensi menciptakan penyalahgunaan kekuasaan. Salah satunya mengenai hak imunitas DPR pada Pasal 122 huruf k. "DPR merasa tidak bisa dikritik," katanya.
Baca:
Yasonna H Laoly: Yang Tak Setuju UU MD3 ...
Walk Out di Paripurna, NasDem: RUU MD3 ...
Menurut Hifdzil, masyarakat sipil selama ini selalu memberi masukan untuk DPR. Namun, masukan itu dianggap sebagai pelecehan oleh anggota Dewan. Padahal, kata Hifdzil, hal yang dikritik masyarakat adalah yang berhubungan dengan jabatan mereka, bukan perorangan. Ketika menjadi penyelenggara negara, mereka tidak bisa menutup diri dari kritik. “Karena mereka menggunakan pajak rakyat untuk membiayai kerja-kerja mereka."
Pasal lainnya adalah 73 UU MD3 yang membolehkan DPR memanggil paksa setiap orang dengan bantuan aparat kepolisian, setelah pemanggilan sebelumnya gagal. Hifdzil menduga, pasal itu berkaitan dengan pimpinan KPK yang tidak hadir ketika diminta DPR terkait hak angket.
Baca juga:
Pasal Imunitas Jadi Alasan NasDem Walkout ...
NasDem dan PPP Menuding Pembahasan ...
Menurut Hifdzil, kepolisian memang bisa melakukan tindakan itu. Tetapi, ia meminta Dewan memahami bahwa tindakan polisionil itu ada parameternya. "Tidak bisa jika DPR tidak suka pada orang, lalu bisa menggunakan itu untuk memaksa kepolisian memanggil orang-orang yang dianggap berseberangan dengan DPR," kata dia.