TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mensinyalir suap yang diterima Bupati Ngada Marianus Sae untuk membiayai kampanye di Pemilihan Gubernur Nusa Tenggara Timur atau Pilkada 2018. Cerita serupa juga terjadi pada Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko yang menerima suap diduga untuk kampanye pilkada 2018.
"Sekali lagi, KPK sangat menyesalkan peristiwa dugaan suap terhadap kepala daerah yang masih terus berulang. Diduga penerimaan suap ini terkait fee proyek yang kemudian digunakan untuk membiayai kampanye Pilkada," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan di gedung KPK Merah Putih, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan pada Senin, 12 Februari 2018.
Baca juga: Kena OTT KPK, Bupati Ngada Pernah Tutup Bandara
Marianus terkena operasi tangkap tangan KPK pada Ahad, 11 Februari 2018. Marianus diduga menerima suap atas sejumlah proyek di Kabupaten Ngada, Provinsi NTT, untuk membiayai kampanye di pemilihan kepala daerah (Pilkada) NTT 2018.
Marianus Sae maju bersama Emilia Nomleni di Pilgub NTT. Mereka sempat diusung Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Namun kedua partai tersebut mencabut dukungan mereka lantaran perkara yang menjerat Marianus.
Sebelumnya, Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko terjerat kasus yang sama. Nyono diduga menerima suap dari Plt Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang Inna Silestyanti sebesar Rp 275 juta.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarief mengungkapkan bahwa sebagian uang suap tersebut digunakan Nyono sebagai dana kampanye dalam Pilkada 2018.
"Diduga sekitar Rp 50 juta telah digunakan NSW (Nyono) untuk membayar iklan terkait rencananya maju dalam Pilkada Kabupaten Jombang 2018," ujar Laode pada 4 Februari 2018.
Nyono sendiri telah meminta maaf kepada masyarakat Jombang dan Jawa Timur. Dia mengaku bersalah atas perbuatannya. Namun, dia berdalih bahwa uang yang diterima digunakan untuk santunan anak yatim.
Atas dua kasus tersebut, KPK mengingatkan kepada seluruh kepala daerah yang sedang dalam proses kontestasi politik dalam pilkada serentak, terutama kepada inkumben, agar tidak terjebak dalam politik uang dan agar para calon mengikuti kontestasi politik secara bersih dan beretika.
Terkait kasus yang menjeratnya, Marianus Sae dijerat Pasal 12 huruf atau b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, dengan ancaman pidana maksimal 20 tahun penjara.
Melalui kuasa hukum yang ditunjuk keluarganya, Marianus Sae membantah telah menerima suap dari Wilhelmus. "Intinya, Pak Marianus menyatakan beliau tidak melakukan hal-hal yang dituduhkan kepada beliau," kata Wilvridus Watu, pengacara Marianus.