TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan perlindungan dan hak anak akan terancam pada tahun politik ini. Sebab, anak rawan dijadikan alat kampanye politik oleh para pasangan calon atau tim suksesnya.
“Anak bisa dieksploitasi sebagai bagian dari materi kampanye. Contohnya calon pimpinan daerah tertentu membawa anak dalam satu potret untuk dijadikan materi kampanye,” kata Ketua KPAI Susanto di kantor Badan Pengawas Pemilu, Gondangdia, Jakarta Pusat pada Jumat, 9 Februari 2018.
Baca: KPAI Minta Isu Perlindungan Anak Dibahas dalam Debat Pilkada
Komisioner KPAI Retno Listyowati mengatakan potensi politisasi terhadap anak itu secara khusus bisa menyasar kepada murid-murid sebagai pemilih pemula. Politisasi itu seringkali dilakukan lewat pemberian materi oleh para guru.
“Targetnya anak SMA dan SMK oleh guru. Saat guru mengarahkan (salah satu pasangan calon), itu juga jadi pelajaran,” ucap Retno.
Baca Juga:
Menurut Retno, guru bukanlah satu-satunya yang mungkin menjadi oknum kampanye terselubung. Para guru, kata dia, tidak jarang mendapat arahan langsung dari kepala sekolah, bupati, hingga jajaran dinas lainnya untuk memasukkan materi berbau kampanye. Apabila hal ini terjadi, ia menambahkan, dapat merusak pendidikan demokrasi terhadap anak.
Baca: KPU Diminta Antisipasi Keterlibatan Anak dalam Kampanye Pilkada
Politisasi terhadap anak oleh oknum guru, kata Retno seringkali diikuti dengan iming-iming kenaikan jabatan atau penghargaan jika para calon rekomendasinya memenangkan pemilu. “Di berbagai daerah, guru saat ini dipolitisasi. Saat yang dipilih akhirnya terpilih, guru-guru ini akan menjadi kepala sekolah, setelah itu diganti, pola-pola ini yang sering terjadi,” kata Retno menjelaskan.
KPAI berpandangan bahwa politisasi anak ini bisa melanggar Pasal 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam pasal tersebut, tercantum bahwa setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan kegiatan politik.