TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Bidang Hukum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Robikin Emhas mengatakan, kebebasan para pemilih dalam pemilihan kepala daerah sering terdistorsi oleh dua hal, yaitu bekerja dengan kekuatan modal dan politik identitas.
"Kemerdekaan untuk memilih menjadi berkurang, bahkan terintimidatif, melepaskan hak demokratis karena rasa takut. Padahal, konstitusi menjamin setiap warga negara bebas dari rasa takut," kata Robikin dalam diskusi Setara Institute di AOne Hotel, Jakarta Pusat pada Kamis, 8 Februari 2018.
Baca: Setelah Pilkada Rasa Sara dan Politik Identitas
Robikin mengatakan, bekerja dengan kekuatan modal biasanya ditandai dengan politik pencitraan. Seseorang yang memiliki modal besar dan sebelumnya bukan siapa-siapa, kata dia, bisa menjadi sesuatu dalam waktu singkat.
Akibatnya, Robikin menyebutkan terjadi kamuflase dan proses manipulasi. "Karena yang tergambar bukan saja sosok dirinya, tapi pola mem-branding agar tertarik atribut-atribut aktivisial," ujarnya.
Menurut Robikin, bekerja dengan kekuatan modal juga satu paket dengan politik uang, yang otomatis mengurangi kemerdekaan dan kebebasan pemilih untuk menentukan pilihan politiknya. Sebab, uang bisa mempengaruhi seseorang dalam memilih kepala daerah.
Baca: Bawaslu: 8 Provinsi Rawan Politik Identitas saat Pilkada 2018
Adapun dalam politik identitas, Robikin melihat fenomena itu belakangan terjadi seperti di DKI Jakarta. Sebetulnya, kata dia, politik identitas secara umum merupakan hal positif. Tetapi menjadi negatif lantaran menggunakan sentimen suku, ras, dan agama untuk meraup dukungan.
Politik identitas yang terjadi di DKI Jakarta, menurut Robikin, sangat merusak kohesivitas sosial, persatuan dan kesatuan bangsa, bahkan dapat mengancam keutuhan NKRI. "Karena politik identitas menggunakan SARA lebih lama, maka mimbar keagamaan akan dijadikan panggung politik untuk mengkafirkan kelompok agama yang berbeda dengan dirinya dalam pilihan politik," kata dia.
Selain itu, ia menjelaskan bahwa ancaman kehidupan sosial dan keutuhan bangsa muncul ketika ada fatwa untuk melarang mensalati jenazah orang yang memilih pemimpin kafir.
Robikin pun menyampaikan bahwa pemilihan kepala daerah hanya proses pergantian setiap lima tahun sekali. Masyarakat, kata dia, harus membedakan dengan memilih pemimpin agama. "Memilih pemimpin politik dalam level tertentu, maka enggak seluruh dogma agama harus berlaku dalam negara bangsa yang berlandas konstitusi," ujarnya.