TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon berharap pasal penghinaan presiden tidak diloloskan dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP. Dia menilai pasal tersebut merupakan peninggalan era kolonial.
"Sebaiknya itu tidak perlu dimasukkan dan diendorse atau dipaksakan lagi. Apalagi sudah dibatalkan sebelumnya," katanya di gedung Nusantara III DPR RI, Kamis, 8 Februari 2018.
Baca juga: Pasal Penghinaan Presiden Tetap Dipertahankan di RKUHP
Pasal tersebut sebelumnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006, namun tetap dipertahankan seperti tertuang dalam draf RKUHP hasil rapat antara pemerintah dan DPR per 10 Januari 2018.
Dalam revisi KUHP, Pasal 263 disebutkan seseorang yang menyebarluaskan penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dapat dipidana penjara paling lama lima tahun. Pasal itu bahkan diperluas dengan mengatur penghinaan melalui teknologi informasi seperti tertuang di pasal 264.
Wakil Ketua DPR RI itu kemudian berujar bahwa pasal penghinaan presiden sebagai langkah kemunduran dalam demokrasi. Menurut dia, kritik terhadap presiden merupakan hak masyarakat. Terlebih bagi Fadli sebagai legislatif, kritik terhadap presiden disebut sebagai tugas konstitusional.
"Ada orang yang takut dikritik intinya," kata Fadli Zon.
Juru bicara Mahkamah Konstitusi (MK), Fajar Laksono mengatakan diusulkannya kembali pasal yang telah dibatalkan MK mencerminkan Indonesia belum menjadi negara hukum.
“Tidak melaksanakan putusan pengadilan mencerminkan kita belum menjadi negara hukum seperti yang diinginkan Undang-Undang Dasar 1945,” kata Fajar kepada Tempo, Ahad, 4 Februari 2018.
Baca juga: Pasal Penghinaan Presiden Membuat Demokrasi Indonesia Mundur
Fajar mengatakan jika kelak pasal baru tersebut kembali diperkarakan dalam uji materi, dia ragu putusan MK bertentangan dengan putusan sebelumnya. “Dalam memutus perkara, MK sudah tentu juga akan merujuk pada putusan terdahulu,” kata Fajar.