TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan mengevaluasi semua nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) yang ditandatangani petinggi TNI dengan kementerian, lembaga negara, hingga badan usaha milik negara (BUMN).
Anggota Komisi Pertahanan DPR, Charles Honoris, mengatakan evaluasi dilakukan untuk menguji dan meminta pertanggungjawaban TNI dalam sejumlah kerja sama di luar fungsi utamanya, yaitu perang dan pertahanan. “Kami akan panggil dan minta Panglima TNI (Marsekal Hadi Tjahjanto) untuk menjelaskan semua,” kata dia kepada Tempo, Rabu, 7 Februari 2018.
Baca: Reformasi TNI di Masa Presiden Jokowi Dinilai Berjalan Mundur
Isu nota kesepahaman mencuat saat Kepala Kepolisian Jenderal Tito Karnavian dan Panglima TNI Marsekal Hadi meneken nota kesepahaman Nomor B/2/2018 dan Nomor Kerma/2/I/2018 tentang Perbantuan TNI. Perjanjian ini merupakan perpanjangan nota kesepahaman sebelumnya yang telah kedaluwarsa atau berusia lima tahun. Nota kesepahaman ini pertama kali diteken oleh mantan Kapolri Jenderal Timur Pradopo dan mantan Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono pada 29 Januari 2013.
Isi dua perjanjian tersebut nyaris serupa, yaitu kesepakatan memberikan bantuan kekuatan militer kepada polisi dalam pengamanan unjuk rasa, mogok kerja, kerusuhan massa, dan konflik sosial. Nota kesepahaman ini juga menjadi cikal-bakal terlibatnya anggota militer dalam kegiatan kepolisian, seperti Operasi Tinombala atau pengejaran teroris di Poso serta penanganan pelaku kriminal bersenjata di Papua.
Sebelumnya, TNI telah memiliki lebih dari 30 nota kesepahaman dengan berbagai lembaga negara untuk terlibat dalam kegiatan sipil. Beberapa di antaranya dengan Menteri Pertanian Arman Sulaiman tentang swasembada pangan, Januari 2015; Menteri Perhubungan Ignatius Jonan dalam pengamanan obyek vital transportasi, Februari 2015; serta Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basoeki Hadimoeljono dalam pengamanan pembangunan infrastruktur di daerah terpencil dan perbatasan.
“Hasil dan pelaksanaannya bagaimana? Adakah yang justru melanggar aturan,” kata Charles.
Baca: Nota Kerja Sama TNI-Polri Jadi Polemik, Moeldoko: Hanya Penegasan
Peneliti dari Setara Institute, Ismail Sani, menilai pemerintah dan DPR harus menghentikan TNI terlibat dalam urusan sipil. Menurut dia, pemerintah dan parlemen harus menjadi penjaga tetap terlaksananya reformasi TNI yang diupayakan sejak reformasi dan amandemen Undang-Undang Dasar 1945. “Militer memang membantu di banyak sektor dan pembangunan. Tapi membiarkan TNI bertindak sendiri akan menimbulkan masalah, apalagi kalau kemudian seolah menjadi lumrah jika terlibat dalam soal sipil,” kata dia.
Direktur Imparsial, Al Araf, meminta pemerintah dan DPR segera menyusun dan membahas Rancangan Undang-Undang Perbantuan TNI. Menurut dia, aturan ini menjadi krusial sebagai batu uji dan batasan sejauh mana keterlibatan militer di ranah sipil. Toh, hingga saat ini, DPR memastikan tak akan membahas beleid tersebut karena kekurangan tenaga dan waktu. “Sudah sejak 2006, masyarakat sipil punya naskah akademik dan draf. Kami siap membawanya ke parlemen. Tapi hingga kini memang belum ada niat dari pemerintah dan DPR,” kata dia.
Juru bicara TNI, Brigadir Jenderal Sabrar Fadhilah, mengatakan institusinya siap menjalani evaluasi. Dia juga mengklaim TNI terbuka untuk terbentuknya beleid perbantuan sebagai acuan setiap kerja sama dengan lembaga sipil. “Silakan berikan masukan untuk melengkapi agar semua terjaga dari hal yang melawan hukum,” kata dia.
DANANG FIRMANTO