TEMPO.CO, Jakarta - Badan Legislasi (Baleg) Dewan Pewakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly menyepakati mekanisme pemanggilan paksa dalam Pasal 73 Rancangan Undang-Undang tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) dibawa ke dalam rapat paripurna.
Ketua Baleg Supratman Andi Agtas mengatakan salah satu pertimbangan soal penegasan mekanisme pemanggilan paksa tersebut adalah kejadian yang dialami Panitia Khusus Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Baca: Penambahan Kursi Pimpinan DPR, MPR, dan DPD Dibahas di Paripurna
"Itu (pansus angket) yang kedua. Ada satu pemanggilan yang dilakukan Komisi III terhadap seorang pejabat gubernur yang sampai hari ini tidak mau hadir di DPR. Itu pemicunya," kata Supratman Andi Agtas saat ditemui di di Gedung Nusantara I, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis dini hari, 8 Februari 2018.
DPR sempat mempertanyakan soal pemanggilan tersebut kepada Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian. "Kapolri menyatakan bahwa kami (DPR) tidak berhak memanggil secara paksa, karena hukum acaranya di Undang-undang MD3 itu belum jelas. Jadi kita merespons saja terhadap apa yang diminta oleh Pak Kapolri saat rapat kerja dengan Komisi III," kata Supratman.
Menurut dia, penambahan soal mekanisme prosedur itu bertujuan agar nantinya ada dasar hukum untuk melakukan pemanggilan paksa. Selain itu, tujuan lainnya agar Kapolri bisa menyusun sebuah peraturan di kepolisian dalam rangka pemanggilan paksa tersebut. "Jadi itu bukan ada ketambahan, memang permintaan kepolisian sesuai pada saat raker dan panitia angket meminta seperti itu," ujar Supratman.
Baca: Bambang Soesatyo: Pemerintah Setuju Revisi UU MD3
Pada 26 Oktober 2017, Pansus Angket KPK melakukan panggilan terhadap pimpinan lembaga antirasuah tersebut. Namun, KPK menolak undangan tersebut dan beralasan masih menunggu uji materi di Mahkamah Konstitusi terkait legalitas Pansus Angket KPK. Pada Kamis, 16 November 2017 Pansus Angket KPK melakukan pemanggilan kedua. Selanjutnya Pansus meminta bantuan kepolisian untuk menghadirkan pimpinan KPK secara paksa, namun Kapolri menolak.
Supratman melanjutkan, dengan adanya penekanan soal mekanisme tersebut, kepolisian dapat melakukan pemanggilan paksa atas permintaan DPR.
Adapun isi Pasal 73 yang terbaru mencantumkan, ayat ketiga termaktub dalam dalam hal setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pada ayat keempat Panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Pimpinan DPR mengajukan permintaan secara tertulis kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia paling sedikit memuat dasar dan alasan pemanggilan paksa serta nama dan alamat pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum dan/ warga masyarakat yang dipanggil paksa. b. Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a.
"Intinya, insya Allah nanti DPR terutama tentunya dengan mitra kerja dan Kapolri tentu akan bahas. Apalagi ini sudah perintah undang-undang, bahwa mekanisme pemanggilan paksa itu sudah diatur dan diserahkan sepenuhnya kepada peraturan kepolisian untuk mengatur lebih lanjut soal mekanisme lanjutan," kata Supratman.
Menteri Yasonna H. Laoly menanggapi mengenai hal itu. Menurut dia, nantinya kewenangan tetap akan ada di tangan kepolisian. "Jadi kan di situ untuk penguatan saja, supaya ada artinya, dipanggil kan supaya ada penguatan, tapi terserah polisinya juga kan," kata Yasonna di lokasi yang sama.