TEMPO.CO, Bandung - Kepala Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Rudy Suhendar mengatakan sejumlah lokasi yang mengalami longsor di wilayah Puncak di Bogor dan Cianjur berada di daerah merah yang masuk zona pontensi terjadi gerakan tanah menengah-tinggi.
"Kejadian tanah longsor ini akibat sifat dan tanah batuannya yang memiliki karateristik terhadap longsor, kemudian kelerengan topografinya, serta tata airnya. Dalam hal ini, curah hujan menjadi pemicu,” kata Rudy di kantornya di Bandung pada Selasa, 6 Februari 2018.
Baca: Longsor di Bandara Soetta Diduga Karena Kegagalan Konstruksi
Rudy mengatakan, peta potensi zona kerentanan gerakan tanah tersebut diperbarui setiap bulannya mengacu pada prakiraan hujan selama satu bulan ke depan yang dikeluarkan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. “Peta ini bukan untuk mencegah longsor, tapi mencegah korban bila terjadi longsor di wilayah yang sudah kita tandai bahwa itu rawan longsor,” kata dia.
Menurut Rudy, peta itu diharapkan bisa dimanfaatkan pemerintah daerah untuk menyiapkan tindakan preventif mencegah korban jiwa akibat bencana longsor. “Ini harus terinformasikan pada masyarakat yang di wilayahnya memiliki karakteristik rawan longsor, kerentanan rawan longsor ini bila terjadi hujan yagn sangat besar dan lama. Ini yang harus kita sosialisasikan bersama-sama,” ujarnya.
Rudy mengatakan, Badan Geologi sudah mengirim tim dari Pusat Vulkanologi Dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) untuk memeriksa lokasi longsor yang terjadi di sejumlah titik di kawasan Puncak di Bogor dan Cianjur. Selain untuk memeriksa penyebab longsor, tim memitigasi kemungkinan terjadinya longsor susulan. “Kita sudah mengirim tim ke sana untuk melihat, memeriksa di daerah setempat, di sekelilingnya, apakah terjadi ada indikasi longsor lagi atau tidak,” kata dia.
Baca: Longsor Puncak Terus Dibersihkan, Polisi Masih Tutup Jalan
Sementara itu, mengenai penyebab longsor, Rudy mengatakan masih menunggu hasil pemeriksaan tim tersebut. Namun ia menyebut penyebab utamanya kemungkinan adalah faktor lereng, batuan dan air yang membebani lereng. "Tapi belum bisa kita pastikan apakah itu juga penyebabnya karena kita melihat di tempat lain yang berdekatan masih stabil. Tapi pengaruh tutupah lahan terhadap longsor itu ada,” ujarnya.
Kepala PVMBG, Badan Geologi, Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral, Kasbani mengatakan, sepanjang Januari 2018 sudah tercatat 170 kejadian bencana longsor. Pada Februari 2018 ini, kemungkinan potensi terjadi bencana longsor masih relatif sama. “Bulan Februari dengan Januari relatif sama. Juga daerahnya mulai dari Sumatera bagian utara dan tengah, Jawa terutama di bagian selatan, bahkan sampai Papua. Relatif sama potensinya” kata dia.
Kasbani mengatakan, dampak paling besar akibat bencana longsor ini terjadi di Jawa. “Dampak paling besar di Jawa karena banyak pembangunan, alih fungsi lahan, dan peningkatan pembangunan infrastruktur. Itu akan memicu adanya longsor seperti itu,” ujarnya.
Sementara itu, sepanjang 2017, PVMBG mencatat kejadian longsor terjadi sebanyak 1.177 kejadian. Dengan jumlah korban tewas mencapai 210 jiwa. Sementara kejadian gerakan tanah sepanjang Januari 2018 sudah menembus 170 kejadian dengan jumlah korban jiwa sebanyak 15 jiwa. Jumlah kejadian bencana longsor Januari 2018 ini lebih banyak dibandingkan dengan catatan bencana longsor pada Januari 2017 yang mencatatkan 152 kejadian longsor dengan korban jiwa sebanyak 15 orang.