INFO NASIONAL - Kementerian Perhubungan cq. Ditjen Perhubungan Laut (Hubla) berkomitmen untuk meningkatkan pengawasan dan pemeriksaan terhadap kapal berbendera Indonesia yang berlayar di dalam negeri, terutama pada masa angkutan laut Lebaran, Natal, dan tahun baru, untuk mendukung terciptanya keselamatan pelayaran. Peningkatan pengawasan juga dilakukan terhadap kapal berbendera Indonesia yang akan berlayar ke luar negeri.
Hal itu disampaikan Direktur Perkapalan dan Kepelautan Junaidi, di Jakarta, Selasa, 6 Februari 2018. Menurut dia, sebagai Flag State Control, Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Perhubungan melalui Direktorat Perkapalan dan Kepelautan, perlu memperketat pemeriksaan kelengkapan keselamatan pelayaran untuk kapal-kapal Indonesia yang berlayar ke luar negeri berdasarkan konvensi internasional yang berlaku. Sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Tokyo MoU.
Baca Juga:
Hasilnya, terjadi penurunan jumlah kapal berbendera Indonesia yang ditahan Port State Control Officer (PSCO), negara anggota Tokyo MoU di luar negeri. Jika pada 2015 jumlahnya mencapai 36 kapal (dari 197 kapal yang diperiksa), menurun menjadi 24 kapal (dari 196 kapal yang diperiksa) pada 2016, dan turun lagi menjadi 17 kapal (dari 196 kapal yang diperiksa) pada 2017. “Selama tiga tahun terakhir, persentase jumlah kapal berbendera Indonesia yang diperiksa dan ditahan PSCO negara anggota Tokyo MoU di luar negeri mengalami penurunan. Namun pemerintah terus melakukan upaya untuk mengurangi tingkat penahanan kapal-kapal itu. Bahkan kalau bisa tidak ada yang ditahan,” ujarnya.
Junaidi mengatakan perlu dilakukan peningkatan pengawasan terhadap kapal berbendera Indonesia yang berlayar ke luar negeri. Hal itu untuk menurunkan dan meniadakan kapal berbendera Indonesia yang masih mendapatkan detainable deficiency (penahanan) oleh Port State Control (PSC) di wilayah Asia Pasifik sehingga dikategorikan sebagai daftar hitam (black list) Tokyo MoU, akibat tidak terpenuhinya persyaratan kelaiklautan kapal sesuai dengan ketentuan konvensi. "Karena itu, Direktur Jenderal Perhubungan Laut mengeluarkan surat edaran Nomor UM.003/11/8/DJPL-18, tanggal 5 Februari 2018, tentang peningkatan pengawasan terhadap kapal berbendera Indonesia yang akan berlayar ke luar negeri," ucapnya.
Lebih lanjut, Junaidi mengatakan surat edaran yang ditandatangani langsung Dirjen Perhubungan Laut R. Agus H Purnomo ini, ditujukan kepada semua Kepala Kantor Kesyahbandaran Utama, Kepala Kantor Pelabuhan Batam, Kepala Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) kelas I–IV, serta Kepala Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan (UPP) Kelas I–III, yang meminta agar masing-masing unit kerja sebelum menerbitkan Surat Persetujuan Berlayar (SPB) kapal-kapal berbendera Indonesia yang akan berlayar ke luar negeri, wajib memastikan kondisi kapal telah memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal sesuai konvensi internasional.
Baca Juga:
Pemeriksaan kapal berbendera Indonesia yang akan berlayar ke luar negeri dilaksanakan Pejabat Pemeriksa Keselamatan Kapal (PPKK) dan dapat dibantu PSCO Indonesia, sesuai dengan guidelines pemeriksaan kapal dalam Tokyo MoU manual serta IMO Resolution A.1052 (27) untuk memenuhi persyaratan konvensi.
Junaidi menambahkan, dalam surat edaran tersebut juga meminta masing-masing unit kerja memastikan implementasi Manajemen Keselamatan Pengoperasian Kapal dan Pencegahan Pencemaran berjalan sesuai dengan ketentuan dan peralatan pemadam kebakaran serta peralatan keselamatan berfungsi dengan baik. "Bila kapal tidak memenuhi persyaratan sesuai dengan konvensi internasional, maka Surat Persetujuan Berlayar tidak dapat diterbitkan," ucapnya.
Adapun bagi pemilik atau operator kapal diminta untuk memastikan kapal yang dioperasikan memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal sesuai dengan konvensi internasional, dan melaporkan pelabuhan tujuan luar negeri kepada Unit Pelaksana Teknis (UPT) setempat tiga hari sebelum keberangkatan kapal.
Junaidi juga mengingatkan agar pemilik atau operator kapal harus memastikan kapal diawaki oleh awak kapal yang kompeten sesuai dengan jabatannya. Bagi perusahaan pemilik atau operator yang kapalnya mendapatkan detainable deficiency dari PSC negara lain sebanyak dua kali berturut-turut, maka Ditjen Perhubungan Laut akan melakukan audit ulang Sistem Manajemen Keselamatan Pengoperasian Kapal dan Pencegahan Pencemaran. Bila ditemukan ketidaksesuaian akan diberikan sanksi berupa pembekuan document of compliance (DOC) dan diturunkan sertifikasi daerah pelayarannya.
“Kementerian Perhubungan akan terus meningkatkan pengawasan dengan melakukan pemeriksaan terhadap kapal Indonesia yang akan berlayar ke luar negeri. Perlu kerja sama semua pihak, baik regulator, pemilik atau operator kapal, untuk memastikan kapal yang berlayar ke luar negeri sudah memenuhi persyaratan konvensi internasional. Sehingga ketika diperiksa di luar negeri, kapal tersebut tidak akan ditahan yang pada akhirnya menjadikan Indonesia berada dalam white list Tokyo MoU,” tuturnya.
Sementara itu, Direktur Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) Capt. Jhonny R Silalahi mengatakan banyak sekali manfaat yang didapat dari keanggotaan Indonesia dalam Tokyo MoU. Di antaranya, keberadaan Indonesia sebagai negara maritim dan memiliki pelabuhan terbuka untuk kapal-kapal asing, sehingga hasil pemeriksaan PSC di bawah keanggotaan Tokyo MoU dapat diakui secara internasional. “Selain itu, kita bisa mendapatkan informasi baru tentang aturan yang berlaku serta guideline tentang cara kerja PSC secara internasional. Lalu, kapal-kapal Indonesia yang ke luar negeri ikut diawasi dan terdata ke dalam Tokyo MoU. Yang terpenting adalah dapat meningkatkan koordinasi dan kerja sama dengan sesama anggota Tokyo MoU di bidang maritim,” katanya.
Direktur KPLP mengatakan, secara umum PSC Indonesia dalam Tokyo MoU mendapatkan penilaian yang baik dan disegani serta memberikan kontribusi besar dalam menjaga kapal-kapal yang beroperasi. Hal itu bertujuan untuk memenuhi ketentuan konvensi terkait dengan kelaiklautan, keselamatan, keamanan, ketertiban, dan perlindungan maritim, terutama di Indonesia dan wilayah Asia Pasifik pada khususnya, serta pelayaran dunia pada umumnya.
Tokyo MoU adalah salah satu organisasi regional Port State Control (PSC) yang terdiri atas 20 negara anggota di kawasan Asia Pasifik. Tujuan utama Tokyo MoU adalah membangun sebuah rezim kontrol yang efektif di wilayah Asia Pasifik melalui kerja sama para anggota, harmonisasi kegiatan dengan visi untuk mengurangi pengoperasian kapal di bawah standar internasional melalui misi mempromosikan penerapan yang seragam mengenai ketentuan International Maritime Organization (IMO) dan International Labour Organization (ILO) terkait dengan keselamatan di laut, perlindungan lingkungan maritim dan kondisi kerja, serta kehidupan awak kapal. Adapun 20 negara anggota tetap Tokyo MoU, yaitu Australia, Kanada, Chile, Cina, Fiji, Hong Kong, Indonesia, Jepang, Korea, Malaysia, Kepulauan Marshall, Selandia Baru, Papua Nugini, Peru, Filipina, Rusia, Singapura, Thailand, Vanuatu, dan Vietnam. (*)