TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah menyerahkan rumusan soal pasal perluasan makna perzinahan dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP. Ketua tim pemerintah untuk Rancangan KUHP, Enny Nurbaningsih, mengatakan rumusan ini diberikan untuk menghindari anggapan adanya kriminalisasi yang berlebihan.
"Pasal 484 ayat 1 sudah banyak dibahas dan dianggap perumus melakukan over kriminalisasi," kata Enny dalam rapat tim perumus RKUHP, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 5 Januari 2018. Dalam RKUHP, perzinaan dinilai sebagai hubungan laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan.
Baca juga: Masuk RKUHP, Pasal Penghinaan Presiden Dinilai Terkait Pemilu
Enny menjelaskan perluasan tindak pidana perzinaan dilakukan penuntutan hanya atas pengaduan suami, istri, orang tua, atau anaknya. "Ada upaya mengkanalisasi supaya pengaduan tidak melebar," ujarnya. Pengaduan ini pun, kata Enny, dapat ditarik kembali sebelum adanya persidangan.
Enny pun membantah jika beleid ini menjadi delik yang mengancam perempuan. Menurut dia, perempuan yang berzina dengan menjadi korban janji kawin tidak dapat dipidana. "Upaya untuk melindungi besar sekali," kata dia.
Ketua tim perumus RKUHP dari DPR, Benny Kabur Harman, mengatakan usulan pemerintah masuk akal. Tim perumus, kata dia, menerima usulan perbaikan pemerintah. "Pasal ini menegaskan ini sebagai delik aduan. Yang tidak berkepentingan tidak bisa," kata dia.
Baca juga: RUU KUHP, Kenapa Pasal Zina dan Homoseksual Rentan Diskriminatif?
Kesimpulan Benny ini juga menanggapi usulan dari anggota tim perumus RKUHP dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Tifatul Sembiring. Tifatul berpendapat batasan pengaduan tindak pidana perzinahan terlalu sempit. Ia menyarankan agar pengaduan diperluaa kepada pihak yang berkepentingan atau pejabat yang lebih tinggi, seperti kepala desa. "Terlalu sempit yang mengadukan," kata dia.