TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan bahwa para ulama boleh menyampaikan ceramah yang berhubungan dengan politik di masjid.
"Kalau ceramahnya tidak memihak, artinya hanya bicara tentang ayat Al-Quran, hadits yang berhubungan dengan politik, ya, tentu sebagai pengetahuan, tidak dalam kampanye," kata JK di Masjid Agung Sunda Kelapa, Jakarta Pusat, pada Ahad, 4 Februari 2018.
Baca juga: JK Cerita Baru Pertama Kali Dengar Langsung Ceramah Ustad Somad
Menurut JK, yang dilarang itu ialah ceramah mengandung muatan kampanye dan memihak salah satu calon kepala daerah. "Kalau referensi pengetahuan melalui Al-Quran itu tidak masuk dalam kampanye," ujarnya.
Penjelasan Jusuf Kalla berkaitan dengan sejumlah masjid yang disebut-sebut menjadi tempat politisasi. Forum Silaturahmi Takmir (pengurus) Masjid seluruh Jakarta sebelumnya menyerukan untuk menolak politisasi masjid. Mereka meminta agar masjid dikembalikan sesuai dengan fungsinya, yaitu tempat ibadah dan menyampaikan pesan suci agama.
Menurut Koordinator Forum Silaturahmi Takmir Masjid se-Jakarta Husny Mubarok Amir, agenda politik sering disisipkan pada acara keagamaan di masjid. Dia menilai, sejumlah masjid di Jakarta dijadikan panggung politik oleh beberapa organisasi kemasyarakatan.
Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin sebelumnya juga menekankan adanya persepsi mengenai politisasi agama kepada Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, dalam pembahasan di kongres ulama muda Muhammadiyah.
Lukman mengatakan, tahun ini hingga 2019 merupakan tahun politik. Biasanya, kata dia, muncul tanggapan dari sejumlah pihak, di antaranya agar tidak mempolitisasi agama, menggunakan agama dalam berpolitik.
Lukman menilai, bangsa Indonesia yang mayoritas adalah umat Islam dan beragama perlu memiliki pemahaman yang sama terkait istilah tersebut. "Sebab kalau tidak, kita bisa berdebat yang tak berkesudahan karena beda cara pandang," kata Lukman, 30 Januari 2018.
Menurut Lukman, realitas bangsa Indonesia merupakan bangsa yang religius dan agamis, sehingga kehidupan kesehariannya tidak bisa dipisahkan dengan nilai agama. Tetapi, kata dia, masyarakat tidak bisa mengatasnamakan agama, misalnya memobilisasi kepentingan yang tujuannya untuk politik praktis dan pragmatis semata. "Jika ini yang terjadi di antara umat Islam yang aspirasi politiknya sangat beragam, akan terjadi benturan luar biasa," katanya.
Lukman kemudian mengambil contoh istilah high politic dalam Muhammadiyah, yaitu politik yang luhur, adiluhur, dan berdimensi moral etis. Ia menyadari bahwa agama tentu tidak bisa dipisahkan dari high politic. Sebab, politik mengatur urusan banyak orang. Begitu juga sebaliknya agama hadir untuk mengatur urusan banyak orang.
Tidak mungkin, kata Lukman, di tengah umat religius dan agamais dalam menjalani berpolitiknya tidak menggunakan nilai-nilai agama. "Pasti agama melandasi mendasari. Tapi bagaimana agar tidak masuk terjerumus politik praktis pragmatis yang memperalat agama. Nah perlu ada batasan yang perlu disepakati bersama," kata dia.