TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mengatakan, tak setuju jika pasal penghinaan presiden lolos dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP. Fadli Zon beralasan, pasal tersebut akan membuat demokrasi di Indonesia mundur.
“Kewibawaan itu dari kinerja, bukan dari undang-undang yang dibuat,” kata Wakil Ketua DPR itu seusai pembukaan musyawarah nasional Keluarga Alumni Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAKAMMI) di Hotel Royal Kuningan, Sabtu, 3 Februari 2018.
Dalam revisi KUHP, Pasal 263 disebutkan seseorang yang menyebarluaskan penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dapat dipidana penjara paling lama lima tahun. Pasal ini sebelumnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, namun tetap dipertahankan seperti tertuang dalam draf RKUHP hasil rapat antara pemerintah dan DPR per 10 Januari 2018. Pasal penghinaan terhadap presiden ini bahkan diperluas dengan mengatur penghinaan melalui teknologi informasi seperti tertuang di pasal 264.
Baca juga: Gerindra Juga Beri Kartu Kuning untuk Jokowi
Menurut Fadli, pemimpin harus bisa dikritik dan kritik tidak akan menurunkan kewibawaan seorang presiden. Wibawa presiden, kata Fadli dilihat dari kinerjanya dalam menjalankan pemerintahan. Jika pasal tersebut disahkan, maka akan membentuk pemimpin yang diktaktor.
Fadli mengklaim tidak mengatakan Presiden Joko Widodo sebagai seorang diktaktor. Dia menuturkan secara umum, jika seorang pemimpin tidak mau dikritik, maka dia seorang diktaktor. “Pemimpin ya harus bisa dikritik,” ucap dia.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Demokrat Agus Hermanto mengatakan belum ada kesepakatan dalam pembahasan pasal penghinaan presiden tersebut. Dia menuturkan pembahasan tersebut masih berada di panitia kerja RKUHP.