TEMPO.CO, Jakarta - Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang tengah dibahas oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, muncul pasal tentang penghinaan presiden. Seseorang yang menyebarluaskan penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dapat dipidana paling lama 5 tahun penjara.
Aktivis hak asasi manusia, Haris Azhar, menilai pasal penghinaan presiden merupakan akal-akalan politis untuk mengkultuskan Presiden. Menurut dia, hal itu terbukti dari konfigurasi politik saat ini yang menunjukkan bahwa hampir semua partai berlomba mendukung pemerintahan.
“Supaya dapat panggung dan lumbung," kata Haris kepada Tempo, Jumat, 2 Februari 2018.
Menurut Haris, rumusan Undang-Undang ini bukan berdasarkan kelayakan hukum, melainkan berbasis kepentingan berbagai kelompok dalam parlemen. Proses legislasi yang sedang berjalan, kata dia, menyisakan ruang yang besar di dalam parlemen.
Baca: Fahri Hamzah: Pasal Penghinaan Presiden Tak Perlu Masuk RKUHP
"Sedangkan dalam parlemen terdiri atas berbagai kelompok kepentingan. Undang-Undang Pidana hari ini yang akan disahkan dalam waktu tergadai oleh cara pandang kepentingan mereka, bukan dari basis kelayakan hukum,” kata Haris.
Haris menuturkan alasan mengapa kepentingan politik terlihat dari pasal penghinaan presiden tersebut. Ia mengatakan presiden adalah jabatan publik yang bertanggung jawab atas perencanaan dan pelaksanaan agenda negara yang harus menghormati konstitusi.
Di dalam konstitusi, kata Haris, dijamin hak setiap rakyat, bukan hanya hak presiden. Menurut dia, jika kewajiban presiden tidak terpenuhi, presiden harus dikritik. "Ada beragam cara dalam mengkritik," ujarnya.
Baca: PSHK Protes Ada Pasal Mati Dihidupkan Lagi di Revisi KUHP
Jadi, menurut Haris, pasal penghinaan presiden tidak tepat. Karena jika presiden tidak bisa bekerja dengan baik, presiden akan dilihat rendah oleh rakyatnya, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. “Apakah pandangan dan ekspresi yang merendahkan ini lalu otomatis dianggap menghina? Saya pikir tidak demikian,” ujarnya.
Haris mengatakan dia setuju jika pelarangan menghina ditujukan pada individu, bukan pada jabatan. Selain itu, menurut dia, hal itu pun sebaiknya ditempuh mekanisme perdata, bukan dipidana dan diancam penjara.