TEMPO.CO, Jakarta - Pasal mati dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) kembali dihidupkan dalam Rancangan Undang-Undang KUHP (RKUHP). Pasal itu adalah tentang penghinaan terhadap presiden.
Dalam RKHUP, pasal itu tercantum dalam Pasal 263, yang menyebutkan setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Miko Ginting, mengatakan pasal tentang penghinaan terhadap presiden sebelumnya pernah dicabut Mahkamah Konstitusi (MK). Padahal keputusan MK mengenai pasal inkonstitusional itu bersifat final dan mengikat.
“Ini menunjukkan tidak taatnya penyusun RKUHP pada konsep ketatanegaraan Indonesia,” katanya dalam siaran pers yang diterima Tempo, Kamis, 1 Februari 2018.
Baca juga: KPK Ingin Tangani Korupsi Swasta, Arsul Sani: Jangan Nafsu Besar
Selain itu, Miko mencatat penyusunan pasal-pasal dalam RKUHP menyangkal kebutuhan terpenting dalam sistem hukum, yaitu adanya monitoring dan evaluasi ketentuan pidana. Selama ini, kata Miko, undang-undang disusun dan disahkan tanpa melalui monitoring dan evaluasi mengenai efektivitas serta dampak dari pengaturan materinya.
Miko menjelaskan, bentuk monitoring dan evaluasi tersebut adalah meneliti penerapan pasal-pasal pidana melalui tuntutan yang dibuat jaksa penuntut umum dan putusan yang telah ditetapkan hakim. Menurut dia, dalam dokumen pembahasan RKUHP sama sekali tidak terdapat argumen penerapan sanksi sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan.
“Hal ini akan sangat bermanfaat ketika pemerintah hendak menentukan pola dan besaran ancaman pidana pada suatu tindak pidana,” ujarnya.
Miko menambahkan, demokratisasi hukum pidana dalam RKHUP belum tercapai.
Sebab, ancaman pidana penjara masih cukup tinggi dan dikedepankan. Miko menuturkan, dalam RKUHP memang terdapat beberapa jenis pemidanaan baru, seperti pidana kerja sosial.
“Namun ternyata tidak berbanding lurus dengan paradigma pemenjaraan yang masih kental dalam Rancangan KUHP,” ucap Miko.
Dengan catatan-catatan tersebut, PSHK mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menunda pengesahan RKUHP. “PSHK memandang DPR ataupun pemerintah perlu menghentikan semua proses dan menunda pengesahan RUU KUHP karena memiliki tiga permasalahan mendasar,” tutur Miko.
Baca juga: Revisi KUHP, KPK Ingin Tangani Kasus Korupsi Sektor Swasta
Selain menunda pengesahan RKHUP, PHSK menuntut adanya transparansi dalam perumusan RKUHP. Menurut Miko, terbukanya seluruh dokumen RKUHP itu bertujuan agar publik dapat ikut mencermati dan mengawal lebih lanjut proses perumusannya.
Saat ini, pembahasan RKUHP oleh DPR hampir selesai dan akan segera disahkan pada Januari 2018. Dalam RKUHP itu dibahas beberapa hal mengenai ancaman pidana. Salah satunya peralihan hukuman mati menjadi hukuman penjara seumur hidup sesuai dengan keputusan pengadilan.