TEMPO.CO, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak seluruh uji materi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang diajukan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). MK menolak uji materi terhadap Pasal 87, 104, 106, 107, 139a, 139b, dan 140 KUHP, yang disebut sebagai pasal makar.
Ketua MK Arief Hidayat mengatakan permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum. “Amar putusan, mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” katanya dalam sidang putusan uji materi pasal makar di gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu, 31 Januari 2018. Sembilan hakim konstitusi bulat satu suara menolak uji materi terhadap pasal tersebut.
Baca: ACTA Gugat Dua Pasal Makar ke Mahkamah Konstitusi
Hakim konstitusi, Suhartoyo, mengatakan mahkamah berpendapat bahwa delik makar cukup disyaratkan adanya niat dan perbuatan permulaan pelaksanaan. Sehingga dengan terpenuhinya syarat itu, kata dia, pelaku telah dapat diproses secara hukum oleh penegak hukum. “Demikian pula halnya pendapat bahwa perbuatan pelaksanaan yang tidak sampai selesai bukan atas kehendaknya sendiri atau delik percobaan,” ujarnya.
Suhartoyo menjelaskan, hal ini sudah masuk pengaturan dalam Pasal 87 KUHP. Mahkamah, menurut dia, berpendapat pelaku tindak pidana makar dapat dijerat sepanjang telah memenuhi Pasal 87 KUHP atau memenuhi percobaan makar, sebagaimana diatur dalam Pasal 53 KUHP. “Hal itu harus dipahami bahwa regulasi tersebut demi melindungi kepentingan negara,” ucapnya.
Baca: Uji Materi KUHP, Andi Hamzah: Ketentuan Makar Perlu Ditinjau Lagi
Ia pun menjelaskan, tidak terdapat koherensi dan pertentangan antara pasal dalam KUHP yang mengatur pasal makar dengan hak atas perlindungan pribadi, hak atas rasa aman, dan perlindungan dari ancaman ketakutan, seperti yang diatur dalam Pasal 28G ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Namun, kata dia, mahkamah perlu menegaskan penegak hukum harus berhati-hati menerapkan pasal makar. “Sehingga tidak menjadi alat untuk membungkam kebebasan menyampaikan pendapat,” tuturnya.
Direktur Pelaksana ICJR Erasmus Napitupulu menilai keputusan MK soal pasal makar ini makin membuat penindakan terhadap pelaku yang diduga makar makin tidak jelas. Sebab, menurut dia, keputusan hakim tidak memberi batasan atau indikator soal penindakan pelaku makar. “Dengan putusan ini, semua menjadi abu-abu,” katanya.
Mahkamah, kata Erasmus, juga tidak memberikan batasan yang jelas soal indikator persiapan dan pelaksanaan makar. Mahkamah hanya memberikan kewenangan pada majelis hakim persidangan untuk menafsir persiapan makar tersebut. “Karena banyak hakim yang enggak konsisten, maka saya bawa ke sini (MK)," ujarnya.