TEMPO.CO, Bandung - Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran, Muradi mengatakan, Kementerian Dalam Negeri menunjuk jenderal kepolisian RI (Polri) menjadi pelaksana tugas gubernur di Jawa Barat dan Sumatera Utara adalah karena alasan potensi konflik dua daerah tersebut.
“Kedua provinsi tersebut berpotensi konflik sebagaimana yang ditegaskan Bawaslu, KPU, Kemendagri dan internal Polri dan TNI sendiri,” kata dia saat dihubungi Tempo, Jumat, 26 Januari 2018.
Baca juga: Dua Pati Polri Akan Jadi Plt Gubernur di Jabar dan Sumut
Muradi mengatakan, jenderal polisi kemungkinan dianggap efektif untuk merespons dan berkoordinasi dengan institusi keamanan untuk mencegah potensi konflik yang mungkin terjadi. “Kalau pelaksana tugas gubernur diisi oleh Sekda, berpotensi menjadi masalah tersendiri karena adanya interaksi yang bersifat tidak netral,” kata dia.
Kendati demikian, Muradi memberi catatan agar dua jenderal polisi ini tetap menjaga jarak karena salah satu kandidat calon di Jawa Barat dan Sumatera Utara berlatar belakang anggota TNI dan Polri.
Menurut Muradi, usulan Menteri Dalam Negeri untuk memasang dua jenderal polisi ini juga tidak menabrak aturan, termasuk soal netralitas TNI/Polri. Dia mencontohkan, pada pasal 28 ayat 3, Undang-Undang Nomor 2/2002 tentang kepolisian yang menegaskan soal netralitas anggota polisi, pada penjelasan ayat tersebut memungkinkan jenderal polisi menjabat jabatan non kepolisian dengan catatan mendapat penugasan. “Karena ada permintaan, lalu di tugaskan,” kata dia.
Kementerian Dalam Negeri menjelang pelaksanaan pilkada serentak 2018 juga menerbitkan Permendagri Nomor 1 tahun 2018 yang memungkinkan pejabat pimpinan madya di lingkup pemerintah pusat dan provinsi menjadi pelaksana tugas gubernur, termasuk berlatar berlakang jenderal TNI dan Polri . “Posisi gubernur itu kepanjangan tangan dari pemerintah pusat, Kemendagri punya kewenangan untuk menunjuk orang di luar internal mereka,” kata Muradi.
Pada pilkada 2017 lalu, pemerintah menunjuk jenderal TNI dan jenderal polisi menjadi pelaksana tugas gubernur kala itu untuk Aceh dan Sulawesi Barat. Penunjukan kedua perwira dari TNI dan Polri di masing-masing daerah itu dinilai berhasil meredam konflik. “Kalau bukan jenderal TNI yang menjadi pelaksana tugas gubernur, pilkada Aceh mungkin bakal rame,” kata Muradi.
Muradi mengatakan, sejumlah pihak menuding ada agenda politik di balik penunjukan dua jenderal polisi itu menjadi pelaksana tugas gubernur. Dia meragukan itu. Di Jawa Barat misalnya, keberadaan jenderal polisi sebagai pelaksana tugas gubernur juga belum tentu bisa menolong kandidat calon berlatar belakang polisi. “Pertanyaannya, apa yang mau diperjuangkan?” kata dia.
Menurut Muradi, sepengetahuannya, Kementerian Dalam Negeri menjaring usulan dari sejumlah institusi, tidak semata dari Polri, tapi juga sejumlah kementerian, Kejaksaaan Agung, hingga TNI. “Kalau yang digunakan adalah teman-teman dari Polri itu kemungkinan pertimbangan kebutuhan saja,” kata dia.
Muradi meragukan pelaksana tugas gubernur dari jenderal polisi itu akan memihak salah satu calon. Salah satu alasannya, waktunya yang mepet. Di Jawa Barat misalnya, pelaksana tugas akan menjabat terhitung sepekan sebelum pelaksanaan pencoblosan. “Masa mulai menjabat hingga hari H pemilihan bagi pelaksana tugas gubernur yang diajukan juga amat mepet waktu,” kata dia.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengusulkan dua perwira tinggi polisi menjadi pelaksana tugas gubernur. Dua jenderal tersebut adalah Asisten Operasi Kepala Polri Inspektur Jenderal Mochamad Iriawan serta Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Inspektur Jenderal Martuani Sormin. "Tinggal menunggu keputusan presiden," katanya.
Iriawan dan Martuani, dua perwira tinggi Polri, diusulkan menjabat gubernur sementara di Jawa Barat dan Sumatera Utara karena mereka memenuhi syarat pejabat setingkat eselon I. Pelaksana tugas diperlukan di kedua daerah itu karena masa jabatan Gubernur Ahmad Heryawan akan berakhir pada Juni dan Gubernur Tengku Erry Nuradi pada Februari mendatang. Sedangkan pemilihan gubernur di kedua provinsi itu baru dilaksanakan pada 27 Juni.