TEMPO.CO, Jakarta - Pelaksana tugas Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Fadli Zon, menilai putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum soal ambang batas pencalonan presiden membuat demokrasi Indonesia mundur. Keputusan ini membuat partai atau gabungan partai harus memiliki 20 persen kursi di Dewan Perwakilan Rakyat atau 25 persen suara sah pada Pemilu 2014 untuk bisa mengusung calon presiden dan wakil presiden dalam Pemilu 2019.
Wakil Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya ini berujar, semangat MK sebagai penjaga konstitusi tidak terlihat saat putusan itu dibacakan. Dalam pertimbangannya, MK menilai ambang batas pencalonan presiden itu memperkuat sistem presidensial. "Padahal jelas-jelas aturan tentang presidential threshold itu sangat bias sistem parlementer," katanya dalam keterangan pers, Sabtu, 13 Januari 2018.
Baca Juga:
Baca juga: Putusan MK Soal Presidential Treshold, Fadli Zon: Tidak Rasional
Menurut Fadli, keputusan MK itu memundurkan demokrasi di Indonesia. Jika ditarik ke belakang, ucap Fadli, alasan Undang-Undang Dasar 1945 diamendemen antara lain memurnikan sistem presidensial. Sebabnya, hasil amendemen memerintahkan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden dihelat serentak.
Fadli menuturkan, jika pemilihan presiden dilaksanakan seusai pemilihan legislatif, seperti dalam Undang-Undang Pemilu yang lama, itu hanya membuat pilpres seperti politik dagang sapi. Terlebih keberadaan aturan presidential threshold yang dianggap mencangkokkan sistem parlementer ke dalam sistem presidensial.
Dengan putusan MK itu, menurut dia, demokrasi yang bisa membuka ruang bagi siapa pun untuk maju dalam pilpres dan membebaskan partai mengajukan calon terbaik versinya masing-masing tertutup.
Ia mempertanyakan logika MK saat memutuskan perkara ambang batas pencalonan presiden itu. Pasalnya, saat bersamaan, MK mengabulkan uji materi Pasal 173 ayat 1 dan 3 UU Pemilu yang mengatur partai lama peserta Pemilu 2014 wajib mengikuti verifikasi faktual dengan argumen kesetaraan agar tidak ada diskriminasi terhadap partai baru.
Fadli berujar, justru Pasal 222 itu akan mendiskriminasi partai baru dalam proses pencalonan presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2019. "Bagaimana MK menjelaskan kontradiksi argumen semacam itu?" ucapnya.
Putusan MK saat menolak uji materi Pasal 222 ini diwarnai dissenting opinion atau perbedaan pendapat dari dua hakimnya, yaitu Saldi Isra dan Suhartoyo. Keduanya berpendapat presidential threshold bisa mengarah pada penguatan praktek pemerintahan otoriter.
Fadli Zon mengamini pandangan dua hakim MK itu. Menjadikan presidential threshold sebagai argumen penguatan sistem presidensial, tutur dia, berbahaya bagi demokrasi. Pasalnya, seolah-olah sistem presidensial yang benar adalah posisi presiden dan parlemen dikuasai partai atau kelompok yang sama.