TEMPO.CO, Jakarta - Pengacara Setya Novanto, Maqdir Ismail prihatin atas penetapan tersangka Fredrich Yunadi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut dia, tidak seharusnya KPK memperkarakan sebelum Fredrich diadili secara kode etik.
"Seharusnya KPK kalau memang memiliki niat memperkarakan itu disampaikan terlebih dahulu ke majelis kode etik di lembaga atau organisasi dimana pak Fredrich dinaungi," kata Maqdir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, Kamis, 12 Januari 2018.
Baca juga: KPK Rencanakan Periksa Fredrich Yunadi dan Bimanesh Sutarjo Besok
Menurut Maqdir, profesi advokat diakui dalam Undang-Undang sebagai penegak hukum juga. Untuk itu, sesama penegak hukum KPK harus menghormati profesi Fredrich. Jika terbukti secara kode etik bahwa Fredrich melakukan pelanggaran barulah KPK dapat memperkarakannya.
Adapun pengacara senior Todung Mulya Lubis mengatakan jika terbukti menghalangi penyidikan terhadap Setya, Fredrich tidak dapat berlindung di balik imunitas profesi itu. Todung menyerahkannya kepada KPK.
Todung membenarkan bahwa seorang advokat mendapatkan imunitas profesi saat bekerja baik di dalam maupun di luar pengadilan. Namun, ia juga tak menampik mengenai adanya wilayah abu-abu dalam pengertian imunitas profesi itu.
“Misalnya, kalau seseorang advokat tahu kliennya DPO dan menyembunyikan yang bersangkutan, itu tidak dibenarkan,” kata Todung. Dalam masalah seperti itu, seorang advokat tidak bisa beralasan imunitas profesi untuk menghindari pidana.
Simak: KPK Geledah Kantor Fredrich Yunadi
Sehari sebelumnya, KPK resmi menetapkan Fredrich Yunadi dan dokter Rumah Sakit Medika Permata Hijau, Bimanesh Sutarjo sebagai tersangka. KPK menduga keduanya melakukan tindak pidana berupa merintangi atau menggagalkan penyidikan dalam perkara kasus korupsi proyek e-KTP.
KPK menduga Fredrich dan Bimanesh bekerja sama memasukkan Setya Novanto ke Rumah Sakit Medika Permata Hijau untuk kemudian dilakuan rawat inap dengan data-data medis yang diduga dimanipulasi. Tujuannya, untuk menghindari panggilan dan pemeriksaan terhadap Setya Novanto oleh penyidik KPK.
KPK menemukan bukti bahwa Fredrich Yunadi melakukan pemesanan kamar VIP di Rumah Sakit Medika Permata Hijau untuk Setya Novanto pada 16 November 2017. Bahkan Fredrich rencananya mem-booking satu lantai rumah sakit.
Fredrich menelepon seorang dokter di rumah sakit itu dengan mengatakan bahwa kliennya akan dirawat sekitar pukul 21.00. Pemesanan itu dilakukan sebelum terjadi insiden Setya Novanto menabrak tiang listrik.
"Padahal saat itu belum diketahui SN akan dirawat karena sakit apa," kata Basaria di kantornya, Rabu, 10 Januari 2018.
Pada 15 November 2017, Setya Novanto diagendakan diperiksa sebagai tersangka atas dugaan korupsi e-KTP oleh KPK. Malam harinya, KPK mendatangi rumah Setya di Jalan Wijaya Xlll, Melawai Kebayoran Baru, dengan membawa surat perintah penangkapan dan penggeledahan. Namun, KPK tak menemukan Setya di sana.
Karena tak kunjung menemukan Setya, KPK menerbitkan daftar pencarian orang (DPO) untuk Setya. Setelahnya, Setya dikabarkan mengalami kecelakaan di daerah Permata Hijau, Jakarta Selatan. Mobil Toyota Fortuner bernomor polisi B1732 ZLO yang ditumpangi Setya bersama kontributor Metro TV (yang sekarang sudah tidak lagi menjadi kontributor Metro TV) Hilman Mattauch menabrak tiang listrik.
KPK menganggap penanganan Setya Novanto janggal. Selaku korban kecelakaan yang mengalami cedera, Setya tidak dirawat di ruang Intalasi Gawat Darurat (IGD) melainkan langsung ke ruang rawat lnap VIP.
Sebelum menetapkan tersangka kepada Fredrich Yunadi, KPK telah memeriksa 35 saksi. Elemen saski dan ahli itu di antaranya berasal dari Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), dokter-dokter dari Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).