TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menilai keberadaan sejumlah anggota aktif TNI-Polri dalam Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada 2018 terjadi karena gagalnya kaderisasi partai politik. Kegagalan ini menyebabkan figur calon kepala daerah dari partai politik minim.
"Ini adalah bukti kegagalan dari partai politik dalam kaderisasi karena gagal menghadirkan kader-kader yang militan dan mumpuni sebagai figur kepala daerah," kata Fadli di kantor KontraS, Jakarta Pusat, Selasa 9 Januari 2018.
Fadli berpendapat sulitnya menentukan kader partai yang bakal berlaga dalam pilkada juga karena partai gagal menghadirkan pendidikan politik bagi kadernya. Padahal, kata dia, pola kaderisasi telah ditentukan sendiri oleh perwakilan partai di parlemen. "Parpol yang paham regulasi ini karena mereka yang membuat," kata dia.
Baca juga: Jenderal Maju di Pilkada, Perludem: Partai Mau Calon yang Instan
Pilkada 2018 menjadi sorotan ketika sejumlah anggota TNI-Polri yang masih aktif ikut berkompetisi dalam pemilihan. Setidaknya terdapat empat calon yang berasal dari institusi TNI-Polri yang berlaga dalam Pemilihan Gubernur 2018. Keempat jenderal tersebut adalah Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Letnan Jenderal TNI Edy Rahmayadi.
Sisanya adalah tiga jenderal dari kepolisian ikut dalam Pilkada 2018. Mereka adalah Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Timur Inspektur Jenderal Safaruddin, Wakil Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri Inspektur Jenderal Anton Charliyan, dan Kepala Korps Brimob Polri Inspektur Jenderal Murad Ismail.
Senada dengan Fadli, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriani mengatakan fenomena meminang anggota TNI Polri yang masih aktif ini sebagai kelemahan mesin parpol. "Jika parpol menjadi mesin demokrasi yang penting, seharusnya bisa memberi jalan dulu bagi kader-kader terbaik di partainya," ujar dia.
Baca juga: Kapolri Mutasi Tiga Jenderal Polisi yang Maju Pilkada 2018
Yati juga berpendapat fenomena jenderal di Pilkada 2018 ini akan menjadi godaan institusi TNI dan Polri untuk kembali masuk dalam politik praktis. "Ini bisa mengganggu reformasi di sektor keamanan dan penegakan hukum," ujarnya.