TEMPO.CO, Jakarta - Pelaksana tugas Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Fadli Zon, menyoroti pernyataan Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Djoko Setiadi perihal perlunya BSSN memiliki kewenangan penangkapan dan penindakan, termasuk menangkap pesan-pesan berbahaya sebagai langkah pengamanan siber. Penyataan itu disampaikan Djoko dalam pidato perdananya setelah dilantik menjadi Kepala BSSN di Istana Negara pada Rabu, 3 Januari 2018.
Terkait dengan penyataan itu, Fadli menyatakan tugas dan kewenangan Badan Siber harus segera dikontrol agar tidak melampaui kewenangan. “Ini yang perlu diingatkan, baik kepada BSSN maupun Presiden. Kita tak mendesain BSSN menjadi lembaga sensor seperti yang berlaku di RRC (Republik Rakyat Cina),” katanya lewat keterangan tertulis pada Senin, 8 Januari 2018.
Baca Juga:
Baca juga: Kominfo Ambil Peran Konsolidator di Badan Siber dan Sandi Negara
Seperti diketahui, badan siber Cina, Cyberspace Administration of China (CAC), bertugas sebagai regulator Internet, sensor, pengawasan, dan agen pengawas pusat untuk rakyat Cina. Belakangan, badan siber ini juga membuat regulasi untuk memperketat sistem manajemen layanan berita dalam jaringan (daring). Dalam regulasi tersebut, pengelola jasa layanan berita daring diwajibkan memberikan pelatihan dan penyeliaan terhadap stafnya. Tak hanya itu, CAC akan mempersiapkan sistem manajemen penyuntingan berita daring, yang di dalamnya mencakup berita yang masuk daftar hitam.
Fadli menuturkan kewenangan BSSN meliputi penyusunan kebijakan dan strategi teknis serta bertanggung jawab ketika terjadi ancaman atau insiden serangan siber. Jika merujuk pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 53 Tahun 2017 tentang Badan Siber dan Sandi Negara, kata dia, tugas dan kewenangan BSSN memang tidak jelas karena hanya menyebutkan keamanan siber tanpa merinci taksonominya. Sehingga, Fadli menambahkan, tugas dan kewenangan itu rentan ditafsirkan meluas.
Menurut Fadli, penyataan Djoko tersebut memiliki tendensi terjadi tumpang tindih atau overlapping dengan lembaga yang menangani keamanan siber lain, yakni Kepolisian RI, Tentara Nasional Indonesia, Badan Intelijen Negara, ataupun Kementerian Komunikasi dan Informatika. Namun dia juga mengakui, hingga saat ini, belum ada peraturan yang memperjelas definisi dan gradasi setiap lembaga yang menangani masalah siber di dunia maya, misalnya ancaman siber (cyber threat), kejahatan siber (cyber crime), dan perang siber (cyber conflict). “Jadi, terkait dengan penyataan kepala BSSN yang berbicara seolah tugas BSSN untuk menangkal hoax, itu harus segera diluruskan,” ucapnya.
Baca juga: Menteri Rudiantara Sebut Badan Siber Tak Tangani Hoax
Sebelumnya, Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Wahyudi Djafar mengatakan hal serupa. Dia menilai permintaan Djoko perihal perlunya BSSN memiliki kewenangan penangkapan dan penindakan tidak patut. "Penindakan itu sudah tugas Polri terkait dengan cyber crime jadi tidak patut BSSN meminta kewenangan yang sama," katanya saat dihubungi Tempo, Kamis, 4 Januari 2018.
Karena itu, menurut Wahyudi, Perpres Nomor 53 Tahun 2017 tentang Badan Siber dan Sandi Negara harus direvisi karena tidak mengatur dengan jelas gradasi kewenangan ketiganya sehingga berpotensi terjadi tumpang tindih kewenangan. "Untuk itu diperlukan revisi pepres atau undang-undang baru perihal hal tersebut," ujarnya.