TEMPO.CO, Jakarta - Associate Director Akar Rumput Strategic Consulting (ARSC) Airlangga Pribadi memprediksi gelora isu populisme islam akan kembali mencuat di pemilihan kepala daerah 2018 dan pemilihan presiden 2019. Namun menurut dia, populisme islam yang belakangan digelorakan di Indonesia belum menjadi sebuah kekuatan politik otentik.
"Saya memprediksi di Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 akan muncul kembali isu populisme islam yang sebenarnya sebatas kekuatan umat yang digunakan dalam pertarungan oligarki," kata Airlangga dalam sebuah diskusi di bilangan Guntur, Jakarta Selatan pada Jumat, 29 Desember 2017.
Baca: Review 2018: Agar Pilkada Jawa Tak Kena Politisasi Agama
Populisme Islam adalah sebuah upaya untuk membentuk artikulasi buat mentransformasi pelbagai identitas sosial politik Islam ke dalam satu identitas semi universal, yakni umat. Konsep umat ini adalah sebuah political frontier atau batas akhir dari proses diskursif pembentuk blok hegemonik atas kekuasaan negara. Di dalam identitas umat, pelbagai variasi dalam kelas, ras, etnis dileburkan.
Dia membandingkan, peristiwa yang terjadi di Kendeng dengan Aksi Bela Islam I dan II pada 4 November dan 2 Desember 2017. "Kenapa tidak mendapat perhatian yang sama dari umat?" kata dia.
Baca: Populisme Islam: Turki Lebih Sukses Dibandingkan Indonesia
Karena itu, menurut Airlangga, aksi tersebut belum dapat dikatakan sebagai kekuatan politik yang solid. Dia mengatakan, orang-orang seperti Rizieq Shihab dalam gerakan itu bukanlah aktor utama melainkan corong antara massa dengan elite politik.
"Hal ini yang menjelaskan kenapa pasca aksi 212, konsolidasi massa melemah," kata Airlangga. "Karena belum ada momen politik setelahnya,"
Airlangga pun memprediksi isu populisme Islam masih akan muncul lagi pada 2018 dan 2019. Dia mewanti-wanti bahwa sentimen rasialis adalah sebuah persoalan. "Bukan pembenaran," kata dia.
Sementara itu, politikus Gerindra Ferry Juliantono mengatakan peristiwa yang terjadi menjelang pilkada 2017 itu telah membuka kotak pandora politik identitas. Dia pun menganggapnya sebagai bentuk kesadaran baru masyarakat. "Mau tidak mau, akan tetap ada di masyarakat," kata Ferry di lokasi yang sama.