TEMPO.CO, Jakarta - Ending the Sexual Exploitation of Children (ECPAT) Indonesia menyebutkan ada dampak negatif terhadap anak yang tinggal di destinasi wisata. Bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), ECPAT melakukan survei di sepuluh destinasi wisata pada 2016-2017.
Hasilnya, ditemukan adanya praktik kekerasan dan eksploitasi seksual terhadap anak. Bentuk kekerasan yang terjadi berupa pornografi, prostitusi anak, perkawinan anak, prostitusi anak laki-laki, serta trafficking.
Baca: Setelah Surabaya dan Solo, Padang Bersiap Menjadi Kota Layak Anak
Sepuluh lokasi wisata itu antara lain Pulau Seribu, Jakarta Barat, Garut, Gunungkidul, Lombok, Karang Asem, Kefamenahu, Toba Samosir, Teluk Dalam, dan Bukit Tinggi. Kekerasan seksual ini dilakukan oleh wisatawan.
"Praktik kekerasan dan eksploitasi seksual anak yang dilakukan sejumlah wisatawan berlangsung di sejumlah destinasi wisata dan memanfaatkan fasilitas pariwisata," kata koordinator ECPAT Indonesia, Ahmad Sofian, Cikini, Jakarta, Kamis, 28 Desember 2017.
Bentuk kejahatan paling dominan, Sofian melanjutkan, adalah prostitusi terhadap anak. Sedangkan bagi warga setempat, kata dia, prostitusi anak bukanlah suatu bentuk kejahatan. Penegak hukum, korban, dan keluarga juga beranggapan demikian. "Itu yang membuat tidak ada upaya penindakan," ujarnya.
Baca: Ibu Eksploitasi Anak Sendiri Dituntut 8 Bulan Penjara
Lebih lanjut, Sofian menjelaskan bahwa oleh penegak hukum maupun masyarakat lokal, tindakan eksploitasi seksual itu bukan dianggap sebagai kejahatan karena ada transaksional dan persetujuan. "Beda dengan paksaan-paksaan, beda dengan perdagangan anak, pasti korban akan melaporkan," tuturnya.
Meski demikian, Sofian tidak menutup kemungkinan lokasi wisata yang lain juga terjadi kekerasan seksual dan eksploitasi terhadap anak. Hanya saja tidak dilaporkan oleh media atau pihak-pihak yang peduli.
TIKA AZARIA