TEMPO.CO, Jakarta - Tahun 2018 akan digelar perhelatan besar di seluruh Indonesia yaitu Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada Serentak. Pilkada ini akan menghantar masyarakat menuju Pilpres 2019.
Partai-partai pun menyiapkan berbagai strategi untuk memenangkan kontestasi Pilkada tersebut. Koalisi pun digalang. Namun di balik itu terselip kekhawatiran bakal adanya penggunaan berbagai isu untuk memenangkan para calonnya lewat berbagai isu, ujara kebencian hingga politisasi agama dalam Pilkada 2018.
Menguatnya politisasi agama, sudah tampak pada pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta 2017. Pertarungan antara Anies Baswedan-Sandiaga Uno dan pasangan inkumben Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok-Djarot Saiful Hidayat, diwarnai isu agama, politik uang, dan mobrokrasi.
Baca: Profesor Teologi: Politisasi Agama Sudah Mengkhawatirkan
Isu serupa diperkirakan akan tetap ada dalam Pilkada serentak 2018. "Ini sudah mulai terlihat kecenderungan isu-isu itu akan digunakan kembali," kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini.
Hal tersebut, menurut Titi, tampak dari pernyataan sejumlah partai politik yang akan bertarung di pilkada. Isu tersebut dinilai oleh partai masih efektif sehingga akan kembali digunakan dalam pilkada lain dengan melihat contoh keberhasilannya di pilkada DKI Jakarta.
"Saya meyakini, bahwa akan ada saja oknum yang mencoba menggunakan isu itu karena belajar dari pilkada sebelumnya, sentimen agama ternyata bisa menggugah dan menggerakkan pemilih untuk terpolarisasi memenangkan calon di Pilkada," kata Titi.
Penggunaan strategi ini juga dinilai sebagai strategi yang murah dan efektif dibandingkan adu program dan ide. "Apalagi jika aktor politik yang terlibat tak punya integritas dan komitmen untuk berkompetisi secara jujur, adil, kompetitif, dan demokratis," kata Titi.
Baca: MUI: Politisasi Agama itu Menyesatkan dan Lebih dari Haram
Seperti Titi, Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti berpendapat isu agama dan SARA masih akan digunakan tahun depan. Menurut dia, partai politik memiliki tanggung jawab besar untuk mengantisipasi terjadinya penggunaan isu SARA dalam perhelatan politik seperti pemilu. Jika dilihat dari luar, kata Ray, partai politik terlihat seakan tidak ikut campur dalam permainan isu SARA tersebut. "Namun pada dasarnya mereka (parpol) menikmati permainan (isu SARA) ini," kata dia.
Dalam Pilkada 2018, ada tiga daerah besar di Pulau Jawa yang akan melangsungkan pemilihan gubernur yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Koalisi PKS, Gerindra, dan PAN yang memenangkan Pilkada DKI Jakarta, baru saja mendeklarasikan akan menggalang koalisi juga di dua daerah yaitu Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Jawa Barat yang kuat dengan daerah berbasis agama tentu tak ingin dilepas oleh PKS yang sudah berkuasa di sana selama 10 tahun dengan Gubernur Ahmad Heryawan. Adapun Jawa Tengah menjadi pertarungan yang diperkirakan akan mengulang Pilkada DKI Jakarta. Jawa Tengah selama ini selalu dikuasai kader PDIP. Hingga saat ini partai itu belum juga memunculkan nama untuk calon gubernurnya.
Ray Rangkunti sepakat jika tiga daerah di pulau Jawa itu akan menjadi panggung dalam isu politisasi agama di 2018. Gelaran pilgub di daerah ini berpotensi menduplikasi strategi di ibu kota, terutama jika melihat komposisi koalisi partai yang bertarung di sana.
Ditambah lagi, tiga daerah ini diyakini sebagai lumbung suara yang penting sebagai modal maju ke pemilihan presiden 2019. Kemenangan di tiga daerah ini ibarat kendaraan yang bisa mengantarkan ke kemenangan Pilpres 2019. Dan pertarungan pilpres, diprediksi masih akan mempertemukan koalisi yang sama, yaitu koalisi kubu Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
Presiden PKS Sohibul Iman mengakui tiga partai, PKS Gerindra, dan PAN dalam pilkada berpotensi berlanjut hingga pilpres 2019. "Pilkada 2018 adalah stepping stone untuk Pemilu 2019," kata Presiden PKS Sohibul Iman.
Pengalaman Pilkada DKI membuat koalisi kubu PDIP belajar. Politikus PDIP Budiman Sudjatmiko, mengatakan partainya telah siap menghadapi terpaan isu berbau agama dan ras menjelang kontestasi politik itu. "Bukan hanya menghadapi pilpres, buat pilkada pun kami sudah bahas hal itu (serangan isu agama),” ujarnya.
Majelis Ulama Indonesia mengingatkan politisasi agama haram hukumnya. “Sesat itu, kalau agama dipolitisasi, menyesatkan namanya,” kata Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia atau MUI Amirsyah Tambunan, kepada Tempo pada Selasa 26 Desember 2017.