TEMPO.CO, Jakarta - Profesor Teologi di Universitas Notre Dame Amerika Serikat, Mun’im Sirry, setuju terhadap pendapat ulama ahli fikih Kiai Haji Afifuddin Muhajir bahwa mempolitisasi agama haram hukumnya. Di sisi lain, Afifudin berujar bahwa mengawal politik dengan agama hukumnya wajib. Pernyataan itu disampaikan Afifuddin saat bedah buku berjudul Fiqih Tata Negara di Pendapa Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, Senin kemarin, 25 Desember 2017.
Sedangkan terhadap pernyataan kedua Afifuddin, Mun’im kurang sependapat. “Saya setuju dengan pernyataan pertama bahwa politisasi agama perlu segera dihentikan. Namun, tidak jelas bagi saya batasan mengawal politik dengan agama. Formatnya seperti apa?” kata Mun’im saat dihubungi Tempo melalui aplikasi pengiriman pesan, Selasa, 26 Desember 2017.
Baca: Ulama Ahli Fiqih: Politisasi Agama Hukumnya Haram
Menurut Mun’im, pengawalan politik dengan agama secara menggebu-gebu juga berarti penggunaan agama sebagai instrumen politik. Keduanya akan berakibat pada penggeseran peran agama ke ruang publik secara berlebihan. “Kita perlu belajar pada sejarah hubungan agama-politik yang panjang, bahwa semakin agama digunakan sebagai alat politik, semakin ia kehilangan peran profetiknya. Yakni, peran untuk mengoreksi ketimpangan dan ketidakadilan,” tutur Mun’im.
Mun’im melihat politisasi agama kian menguat di Indonesia mendekati tahun politik 2018 dan 2019. Hal ini bukan hanya terlihat dari fenomena mobilisasi massa yang semakin sering dilakukan, tapi juga dari polarisasi yang sengaja diciptakan berdasarkan bahasa dan simbol-simbol agama. “Bagi saya, tingkat penggunaan agama dalam pilkada DKI Jakarta yang lalu, dan mungkin pola serupa akan terjadi pada pilpres, sudah sangat mengkhawatirkan,” katanya.
Simak: MUI: Politisasi Agama itu Menyesatkan dan Lebih dari Haram
Akibat yang ditimbulkan oleh politisasi agama di pilkada DKI Jakarta, ujar Mun’im, melampaui masa kampanye dengan semakin mengeraskan model keberagamaan umat saat ini. “Kita bisa bayangkan, orang begitu mudah menghakimi pihak lain, termasuk soal masuk surga atau tidak, hanya dari perbedaan pilihan politik,” kata Mun’im.
Mun’im memperkirakan pola-pola serupa sangat mungkin terulang dalam pilkada serentak 2018 dan pilpres 2019, bahkan dengan tingkatan yang lebih keras. Sebab, sebagian mereka yang menggunakan isu agama tersebut merasa berhasil membendung kekuatan politik lain, bahkan mengalahkan dalam pilkada.
Lihat: Wahid Foundation: Cegah Politisasi Agama di Pilkada Jawa Barat
Mun’im menilai polarisasi masyarakat yang diakibatkan oleh politisasi agama akan mengancam keutuhan bangsa. Belakangan ini, kata dia, muslim Indonesia yang digambarkan oleh orang luar sebagai smiling faces dan dianggap sebagai distingtif bagi negeri ini mulai tergerus dengan semakin menguatnya ekslusivitas agama. “Tidak mengherankan bila sejumlah peneliti menyebut Islam Indonesia sedang mengalami conservative turn,” kata dia.
Mun’im juga memandang peran civil society mulai mengendur dalam membendung politisasi agama, terutama dua organisasi terbesar Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Padahal, yang membedakan Indonesia dengan negara mayoritas muslim lain, kata Mun’im, karena negeri ini memiliki gerakan civil society kuat yang direpresentasikan oleh NU dan Muhammadiyah. “Saya kira kita perlu mendorong dua organisasi terbesar ini untuk mengambil peran, jangan malah ikut-ikutan ditunggangi kelompok-kelompok radikal,” ujar Mun’im.
KUKUH S. WIBOWO