TEMPO.CO, Jakarta - Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta memutuskan tidak dapat menerima gugatan perusahaan kertas raksasa PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). Perusahaan milik Sukanto Tanoto itu meminta agar Pengadilan mencabut Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 5322 tentang pembatalan rencana kerja perusahaan periode 2010-2019.
Ketua Majelis Hakim Oenoen Pratiwi mengatakan gugatan tidak dapat diterima karena tidak memenuhi syarat formal. Argumentasi pemohon, yakni PT RAPP, tentang SK yang otomatis batal karena Kementerian tidak menjawab keberatan yang dilayangkan, tidak dapat dipenuhi. “Entitas permohonan oleh pemohon sebagai permohonan fiktif positif sebagaimana diperkarakan dalam pengadialn tidak dapat dipenuhi,” kata Oenoen saat membacakan putusan di PTUN Jakarta, Selasa, 21 Desember 2017.
Baca juga: 29 Taipan Sawit Kuasai Lahan Hampir Setengah Pulau Jawa
Kisruh antara Kementerian dan anak perusahaan milik taipan Sukanto Tanoto itu bermula pada 6 Oktober lalu, ketika sepucuk surat peringatan terbit. Kala itu, Kementerian menegur PT Riau karena mendapati mereka menanam akasia dan membuat kanal di lahan gambut ketika dua kali melakukan inspeksi mendadak ke area konsesi mereka di Pelalawan, Riau.
Kementerian, sejak Mei 2017, telah meminta seluruh perusahaan pemegang konsesi hutan tanaman industri untuk merevisi rencana kerja usaha agar sesuai dengan aturan baru yang disahkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Dalam aturan tersebut, antara lain, disebutkan soal larangan membuka lahan di area gambut, terutama yang ketebalannya lebih dari 3 meter. Setiap orang juga dilarang membuat kanal yang mengakibatkan gambut kering dan bisa berujung terbakarnya hutan.
Belakangan, setelah memberi teguran, Kementerian juga membatalkan RKU pada 16 Oktober 2017 lewat Surat Keputusan Nomor 5322. Surat inilah yang digugat PT RAPP ke Pengadilan TUN Jakarta dengan dalih proses penerbitannya tak sesuai ketentuan. Perusahaan juga sempat mengirimkan keberatan atas SK tersebut. Menurut mereka, keberatan itu tidak dibalas Kementerian dalam waktu 10 hari, sehingga perusahaan menganggap keberatan otomatis diterima. Argumen ini, dalam hukum, disebut fiktif positif.
Simak pula: Banding Ditolak, Grup Asian Agri Harus Setor Pajak
Hakiem Oenoen mengatakan permohonan fiktif positif yang disebut dalam Pasal 53 Undang-undang Administrasi Pemerintahan merupakan permohonan untuk hal baru, bukan membatalkan keputusan atau tindakan yang telah diambil pemerintah. “Maka majelis hakim berpendapat permohonan pemohon tidak dapat diterima,” katanya.
Sidang putusan ini menutup proses persidangan perusahaan Sukanto Tanoto yang telah berlangsung sejak 23 November 2017.