TEMPO.CO, Yogyakarta - Perayaan Dies Natalis ke-68 Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menyoroti munculnya istilah pribumi dan nonpribumi yang kembali mengemuka beberapa waktu lalu.
Dalam orasi ilmiah untuk membuka Dies Natalies ke-68 yang dihadiri Presiden Joko Widodo pada Selasa, 19 Desember 2017, Sekretaris Dewan Guru Besar UGM Profesor Koentjoro mengatakan nasionalisme Indonesia akhir-akhir ini berhadapan dengan berbagai bentuk eksklusifime yang terus tumbuh, baik dalam kehidupan sosial bermasyarakat maupun praktek politik dan ketatanegaraan.
Baca: Jokowi Cerita Nasib Tukang Pos sampai Kamera Analog di UGM
Koentjoro menuturkan dalam pemilihan kepala daerah 2017 muncul berbagai kasus yang menunjukkan masih adanya persoalan mendasar tentang siapa yang berhak memiliki Indonesia. “Kasus yang membangkitkan kembali dikotomi antara pribumi dan nonpribumi jadi satu contoh masih adanya ketidakpastian dalam tafsir tentang kewarganegaraan,” ujar Koentjoro.
Penggunaan istilah pribumi, ujar Koentjoro, merupakan padanan dari istilah bumi putra. Terjemahan langsung dari inlander dalam konteks kolonial ini, menurut dia, telah menjadi pisau bermata dua.
Simak: 400 Dosen UGM Tolak Hak Angket ke KPK
Di satu sisi kata pribumi ampuh ketika dikaitkan dengan kebijakan di masa awal kemerdekaan. Kebijakan itu berupa memberi perhatian lebih pada kelompok masyarakat tempatan yang sudah amat lama mengalami peminggiran oleh kolonial. “Tapi dalam konteks kekinian, penggunaan istilah pribumi itu menghunjam langsung pada praktek demokrasi dan keutuhan Indonesia karena sifat dasarnya yang eksklusif,” ujarnya.
Koentjoro menyatakan UGM sebagai perguruan tinggi memiliki tanggungjawab moral untuk menjalankakan praktek kewarganegaraan yang merengkuh semua lapisan tanpa diskriminasi. “UGM adalah representasi simbolik nasionalisme Indonesia,” ujar Koentjoro.
PRIBADI WICAKSONO