Iklan
Konversi minyak tanah ke elpiji (liquefied petroleum gas) ternyata kedodoran. Daerah-daerah yang menjadi target konversi mengeluh karena tiba-tiba minyak tanah menghilang. Jikapun ada, harganya mahal, sekitar Rp 6.000-an, karena tak ada lagi subsidi. Di berbagai wilayah di Jakarta, Banten, dan Jawa Barat, banyak rakyat miskin dan pedagang kecil kelabakan karena depo minyak menghilang. Padahal minyak tanah masih sangat dibutuhkan rakyat miskin yang tak mampu membeli gas, meski tabung gas berisi 3 kilogram elpiji sudah diberikan gratis oleh pemerintah.Kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji itu memang bertujuan baik, yaitu mengurangi subsidi minyak tanah untuk keperluan rumah tangga yang nilainya sekitar Rp 30 triliun. Tapi sayang, dalam menentukan kebijakan tersebut, pemerintah telah melakukan beberapa kesalahan mendasar sehingga kebijakan konversi itu akhirnya menimbulkan problem di masyarakat.Sejak awal, misalnya, pemerintah tidak konsisten dalam menentukan kebijakan konversi minyak tanah. Terbukti, gagasan konversi minyak tanah ke batu bara yang saat itu sudah mulai dikampanyekan tiba-tiba dibatalkan begitu saja. Wakil Presiden Jusuf Kalla, medio 2006, tiba-tiba menyatakan bahwa konversi ke batu bara diganti ke elpiji. Pergantian konversi secara tiba-tiba itu tidak hanya mengejutkan masyarakat yang sudah mulai bersiap-siap mengganti minyak tanah ke batu baru, tapi juga mengecewakan para perajin tungku batu bara dan para peneliti yang telah berhasil membuat tungku batu bara modern, yang bisa mengatur nyala api dan menghemat pemakaian batu bara.Di sejumlah pameran, misalnya, kreativitas masyarakat membuat tungku batu bara sudah mulai bermunculan guna menyambut era konversi minyak tanah ke batu bara itu. Beberapa peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan perguruan tinggi, seperti di Universitas Sriwijaya, Palembang, telah berhasil membuat alat sederhana untuk mencairkan batu bara. Batu bara cair ini harganya lebih murah daripada minyak tanah dan sangat mudah pemakaiannya, sama seperti pemakaian minyak tanah. Baiknya lagi, semua jenis batu bara--baik yang muda (kadar karbonnya rendah) maupun yang tua (kadar karbon tinggi), bisa dicairkan. Dan batu cair ini ternyata tidak hanya bisa dipakai sebagai pengganti minyak tanah, tapi juga pengganti solar. Bahkan dengan sedikit treatment kimia, batu bara cair pun bisa diubah jadi premium.Seandainya saja saat itu kebijakan konversi minyak tanah ke batu bara terus berjalan, niscaya masyarakat akan lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan energinya. Kompor-kompor batu bara, misalnya, tidak hanya bisa dipakai untuk membakar briket batu baru, tapi juga membakar briket arang kayu-kayuan, arang batok, dan lain-lain. Tapi sayang, suasana yang sudah tepat itu tiba-tiba dibatalkan secara mendadak oleh Jusuf Kalla. Apa motif di balik pembatalan konversi minyak tanah ke batu bara memang perlu diselidiki untuk mengetahui kenapa kebijakan yang sudah positif itu dibatalkan.Konversi permakaian minyak tanah ke elpiji bagi masyarakat kecil niscaya akan menimbulkan banyak masalah. Hal ini terjadi karena beberapa alasan. Pertama, dari aspek fisik. Minyak tanah bersifat cair sehingga transportasinya mudah, pengemasannya mudah, dan penjualan sistem eceran pun mudah. Masyarakat kecil, misalnya, bisa membeli minyak tanah hanya 0,5 liter (katakanlah Rp 1.500 dengan harga subsidi) dan mereka dapat membawanya sendiri dengan mudah. Minyak tanah 0,5 liter bisa juga dimasukkan ke plastik. Kondisi ini tak mungkin bisa dilakukan untuk pembelian elpiji. Ini karena elpiji dijual per tabung, yang isinya 3 kg, dengan harga Rp 14.500-15.000. Masyarakat jelas tidak mungkin bisa membeli elpiji hanya 0,5 kg, lalu membawanya dengan plastik atau kaleng susu bekas. Kedua, dari aspek kimiawi. Elpiji jauh lebih mudah terbakar (inflammable) dibanding minyak tanah. Melihat perbedaan sifat fisika dan kimia (minyak tanah dan elpiji) tersebut, kita memang layak mempertanyakan sejauh mana efektivitas dan keamanan kebijakan konversi tersebut.Keluhan masyarakatDalam sebuah kunjungan ke daerah-daerah yang--konon menurut pemerintah--sudah diberi tabung elpiji gratis, kami menemukan berbagai keluhan masyarakat. Sejak adanya kebijakan konversi itu, minyak tanah menghilang dari pasar. Kalaupun ada, harganya sangat tinggi, sehingga mereka tak sanggup membelinya. Sementara itu, kalau mau beli gas, mereka harus membeli 3 kg atau satu tabung yang harganya berkisar Rp 15 ribu.Kondisi ini tampaknya belum diperhatikan pemerintah. Bagi rakyat kecil, membeli bahan bakar Rp 15 ribu sangat memberatkan, karena penghasilan mereka tiap hari hanya cukup untuk makan sehari, bahkan terkadang kurang. Ini berbeda dengan minyak tanah yang bisa dibeli eceran, satu atau bahkan setengah liter sekalipun. Dari aspek ini, kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji akan menimbulkan masalah seperti yang disebutkan di atas.Pemerintah kurang peka melihat kondisi masyarakat Indonesia yang sebagian besar penghasilannya pas-pasan. Mestinya, kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji dilakukan secara selektif. Masyarakat kecil tetap dibiarkan memilih untuk sementara waktu, apakah menggunakan minyak tanah atau elpiji, yang kedua-duanya disubsidi. Sementara itu, masyarakat yang mampu diharuskan memakai elpiji. Untuk itu, perlu ada pendataan penduduk miskin yang akurat di tiap-tiap wilayah agar pemberian subsidi tersebut tepat sasaran.Jika alasannya untuk mengurangi subsidi dan memanfaatkan gas produksi dalam negeri guna memenuhi kebutuhan energi nasional, kenapa pemerintah tidak mengkonversi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD, yang memakai solar) dengan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG). Konversi dari PLTD ke PLTG ini cukup sederhana, tinggal menambah alat converter di mesin-mesin pembangkit listrik. Bahkan sebagian mesin di PLTD bisa dioperasikan dengan solar ataupun gas.Saat ini, misalnya, akibat pemakaian solar, subsidi pemerintah untuk PLN mencapai Rp 25 triliun. Jika memakai gas, subsidi itu nyaris nol dan pemerintah bisa mengkonversi subsidi tersebut untuk membangun pusat-pusat pembangkit listrik di wilayah-wilayah lain yang kekurangan pasokan listrik. Di luar Jawa dan daerah-daerah terpencil, misalnya, pasokan listrik ke masyarakat masih jauh dari memenuhi. Di Kabupaten Mentawai, Sumatera Barat, misalnya, PLN hanya memenuhi 18,72 persen kebutuhan listrik masyarakat. Di Kabupaten Pasaman Barat, kebutuhan listrik masyarakat hanya terpenuhi 35,75 persen.Secara nasional, misalnya, PLN hanya memasok listrik 54 persen dari kebutuhan penduduk Indonesia. Ini artinya, jika prioritas konversi itu diberikan kepada PLN dulu, niscaya akan banyak membantu meningkatkan perekonomian masyarakat. Studi yang dilakukan Japan International Cooperation Agency di wilayah lereng Gunung Halimun, Jawa Barat, menunjukkan tingkat perkembangan perekonomian masyarakat akibat masuknya jaringan listrik di pedesaan mencapai lebih dari 30 persen. Ini terjadi karena listrik tidak hanya menerangi jalan, tapi juga menjadikan masyarakat bisa mengikuti acara radio, TV, dan lain-lain sehingga membuka wawasan mereka dan mengerti akses pasar untuk menjual produk-produk hasil buminya.Karena itu, untuk masyarakat pedesaan di lereng-lereng pegunungan, apakah mereka bisa dipaksa memakai tabung gas? Seberapa besar manfaat tabung gas tersebut? Jelas, tidak! Kebutuhan mereka jelas bukan tabung gas, melainkan listrik. Mereka lebih baik memakai tungku yang bisa dipakai untuk membakar kayu, batu bara, atau briket. Semua bahan bakar tersebut mudah diperoleh di desa secara gratis dan bisa dibuat sendiri. Tapi listrik? Mereka sangat membutuhkannya untuk berbagai kebutuhan, baik penerangan maupun informasi melalui media elektronik (TV dan radio).Dengan demikian, mestinya kebijakan konversi gas tersebut perlu ditinjau ulang dan direvisi secara komprehensif. Dalam kaitan ini, kondisi masyarakat dan peta sosial ekonomi wilayah yang bersangkutan mestinya dikaji terlebih dulu oleh pemerintah sebelum menetapkan kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji di atas.Wahyudin Munawir, ANGGOTA KOMISI VII DEWAN PERWAKILAN RAKYAT RI