TEMPO.CO, Jakarta - Perumus Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Muladi, menyatakan penghapusan hukuman mati di Indonesia sulit direalisasi. Karena itu, kata dia, pengaturan pidana mati bersyarat menjadi solusi jalan tengah menghadapi pro dan kontra hukuman mati.
"Hukuman mati sulit dihapuskan di Indonesia. Pro-kontra pidana mati itu sama kuatnya," kata Muladi di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Selasa, 19 Desember 2017. Ia menyebut jalan tengah pidana mati sebagai Indonesian way.
Baca juga: 3 Tahun Jokowi-JK, Kontras: Ada Dramatisasi Hukuman Mati
Jalan tengah itu, Muladi menjelaskan, pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama sepuluh tahun. Jika reaksi masyarakat tidak terlalu besar dan terpidana menunjukkan rasa menyesal, pidana dapat diubah. "Kalau memang berkelakuan baik, bisa diubah menjadi pidana seumur hidup atau 20 tahun penjara," ucapnya.
Muladi menilai pro dan kontra selalu ada dalam menghadapi persoalan pidana mati di seluruh dunia. Menurut dia, persoalan bisa diatasi dengan mencari cara untuk melunakkan dan memperketat persyaratan pidana mati dengan lebih manusiawi. "Dari grasi, PK (peninjauan kembali), itu dimaksimalkan. Jangan sampai dijatuhkan kepada ibu hamil dan anak di bawah 18 tahun," ujarnya.
Muladi menyebut pembahasan soal pidana mati di Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembahasan Rancangan KUHP sudah selesai. Rencananya, kata dia, RKUHP ini disahkan pada Januari 2018. "RKUHP itu sudah 95 persen," tuturnya. Menurut dia, pidana mati sulit dihapuskan di Indonesia.
Polemik keberadaan pidana mati menjadi polemik dalam pembahasan RKUHP di Dewan. Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa bahkan sempat meminta pemerintah Indonesia menghapus hukuman mati. Tekanan itu muncul setelah eksekusi mati ketiga pada pertengahan 2016.
Pengacara sekaligus aktivis HAM, Todung Mulya Lubis, menuturkan jalan tengah ini adalah langkah positif menghadapi polemik hukuman mati. Waktu sepuluh tahun penjara, kata dia, bisa dijadikan alasan untuk menganulir pidana mati. "Hukuman mati menjadi tidak absolut, apalagi mandatori, tapi dia tidak dihapuskan sama sekali," ucapnya.