TEMPO.CO, Jakarta - Maryanti, korban pernikahan di bawah umur, mendatangi gedung Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai pelapor untuk dilakukannya judicial review (uji materi) atas Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan atau UU Perkawinan, Senin, 18 Desember 2017.
Maryanti menjelaskan, sejak usia 11 tahun, ayahnya berencana menjodohkan dia dengan pria yang jauh lebih tua. Di gedung MK, Maryanti terpaksa mengingat kembali masa remajanya yang kelam sambil sesekali mengusap matanya yang berair. Saat itu, ia masih sangat kecil dan belum tahu apa-apa.
Baca: Menteri Agama Lukman Hakim: Perceraian Jadi Gaya Hidup
Menolak dijodohkan, Maryanti tinggal bersama neneknya selama setahun. Ketika berusia 12 tahun, lagi-lagi Maryanti dijodohkan. Usia laki-laki itu lebih tua dari ibunya. Karena diancam sang ayah, Maryanti terpaksa menyetujui dinikahkan ketika berusia 14 tahun. "Diancam ayah, katanya sudah berutang sama dia," katanya.
Maryanti berujar identitasnya dimanipulasi dalam keterangan pernikahan. Selain umur yang ditambah, statusnya diganti janda. Hal itu, menurut Maryanti, agar sang pria tidak membayar uang adat. Pernikahan itu berlangsung tanpa Maryanti mengetahui latar belakang calon suaminya. "Ngakunya bujang, tapi sudah punya istri," ucapnya.
Simak: Nikah Antar Rekan Sekantor, BRI: Kami Kaji Putusan MK
Meski sudah menikah selama 13 tahun, Maryanti mengaku tidak mengalami kekerasan fisik. Namun suaminya tidak peduli sama sekali dengan dia dan anaknya. Bahkan sudah setahun terakhir Maryanti terpaksa bekerja sebagai asisten rumah tangga lantaran suaminya tak mau lagi bekerja. "Katanya malu, enggak tahu kenapa, alasannya pokoknya malu."
Selain kesulitan ekonomi, Maryanti sempat mengalami keguguran sebanyak tiga kali. Sebab, kata dia, rahimnya belum cukup kuat saat itu. Akhirnya ketika dirinya berusia 18 tahun, anak pertamanya lahir dengan selamat.
Lihat: Ruhut Sitompul Bandingkan Pernikahan Putri Jokowi dan Putra SBY
Cerita kelam itulah yang menjadi dasar Maryanti beserta dua pemohon lainnya, Endang Wasrinah dan Rasminah, mengajukan uji materiil terhadap Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Melalui tim kuasa hukumnya, mereka meminta agar usia minimal pernikahan bagi perempuan sama dengan laki-laki, yakni 19 tahun.
Indry Oktaviani, salah satu kuasa hukum Koalisi 18+ yang mendampingi para pemohon, menemukan fakta bahwa pernikahan perempuan di bawah umur umumnya disebabkan faktor ekonomi. Menurut Indry, tindakan itu tidak menyelesaikan masalah, tapi siklusnya akan terus seperti itu. "Banyak anak dikawinkan karena faktor ekonomi. Keluarga yang kawinkan anak, kemudian anak perempuannya juga dikawinkan lagi, begitu terus," tuturnya.